Pada hari Kamis, tanggal 12 September 2013, BP4K Kota Mataram khususnya penyuluh perikanan Kota Mataram mendapat kunjungan spesial dari komisi penyuluhan Provinsi Sulawesi Tengah yang langsung dipimpin oleh Ketua Komisi Penyuluhan Provinsi Sulawesi Tengah Prof. Made Antara. Rombongan terdiri dari 9 orang terdiri dari akademisi, penyuluh, dan pelaku usaha perikanan di Provinsi Sulawesi Tengah, bermaksud melakukan study banding tata kelola pengelolaan perikanan Provinsi NTB umumnya dan di Kota Mataram pada khususnya, Komisi Penyuluhan Provinsi Sulawesi Tengah juga tidak dapat menyembunyikan rasa kagumnya bagaimana Pemkot Mataram menjalankan organisasi kegiatan Penyuluhan di lapang, tak lepas saat mengunjungi Kawasan Budidaya Ikan (KDI) Kebon Daya Indah atau yang lebih terkenal dengan sebutan "Kampung Lele" komisi Penyuluhan banyak bertanya tentang kiat-kiat Penyuluh Perikanan Kota Mataram sebagai inisiator penggagas didirikannya kampung lele ini, dan bagaimana proses pembudidayaannya lengkap dari masa perkawinan induk, pemijahan, panen hingga pasca panen, karena di kampung lele Kota Mataram semua proses dari pembuatan pakan hingga pengolahan pasca panen telah mulai dilakukan, sebagai langkah awal menjadikan daerah Kampung Lele ini sebagai kawasan Minapolitan Perikanan.
Friday, 13 September 2013
Kunjungan Komisi Penyuluhan Provinsi Sulawesi Tengah
Wednesday, 11 September 2013
Conservation and Rehabilitation of Mangrove Forest using Silvofishery System (Wanamina) as one of the Community-Based Marine Protection Efforts (1)
Oleh : I Nyoman Budi Satriya
Beach area and mangrove forest
are the target of the exploration of natural resources and environmental
pollution due to the demands of development which focuses on economic
activities. This paper focuses on the concept or the need for coastal
mitigation model that can be used as a reference material for the continuous of
degradation on coastal environment. Wanamina system is integrated between the
activities of fish farming activities with the planting, maintenance, and
management of mangrove conservation efforts, sylvofishery method is also one
of the naturally alternative disaster mitigation in the coastal areas,
There are 3 system of wanamina pattern that is empang parit, empang parit which
more perfect, and komplangan pattern.
Sekitar 75 % dari luas wilayah nasional adalah berupa
lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai
wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai
sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis
karena merupakan wilayah interaksi / peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan
ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan
lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya
tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk
meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang
besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri,
pariwisata dan lain-lain.
Salah satu kelemahan pengelolaan wilayah pesisir terpadu
adalah tidak mensinergikan pengelolaan dampak bencana dan resiko. Karenanya,
konsep regulasi pada ekosistem alam harus dimengerti. Upaya yang paling mungkin
dilakukan adalah dengan mengembangkan teknik mitigasi bencana, untuk
meminimalkan dampak yang diterima manusia. Beberapa pendekatan mitigasi yang
penting adalah pendekatan pengelolaan ekosistem berbasis sumberdaya di wilayah
pesisir, pendekatan teknik dan kelembagaan sumberdaya manusia. Dari sini
diharapkan resiko yang terjadi dapat diminimalisir kalau tidak dapat
dihilangkan.
Peran penting vegetasi hutan mangrove dalam mitigasi
bencana alam daerah pesisir dalam mengurangi dampak tsunami, erosi dan
sedimentasi telah banyak diketahui, ketebalan mangrove sekitar 1200 meter dapat
mengurangi gelombang tsunami sekitar 2 kilometer. Penataan ruang secara terpadu
di wilayah pesisir dengan mengikutsertakan komponen vegetasi mangrove didalam
salah satu agendanya, merupakan agenda penting yang harus diterapkan di wilayah
pesisir kita, terutama pada daerah-daerah yang rawan terkena dampak tsunami,
erosi dan sedimentasi, penataan ruang ini dilakukan dengan pendekatan mitigasi
bencana dan sifat-sifat alami lingkungan.
Belajar dari kasus tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD),
diperoleh beberapa fakta, pertama, energi gelombang tsunami akan lebih besar
dan semakin jauh ke daratan pada tipe pantai teluk, dibandingkan dengan pantai
terbuka. Kedua, gelombang tsunami akan semakin jauh ke daratan jika kondisi
pesisirnya miskin mangrove, untuk itu Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP)
merekomendasikan pembangunan vegetasi perlindungan pantai dengan penanaman
mangrove dalam radius minimal sejauh 200 meter dari garis pantai ke arah
belakang. “Tinggi vegetasi antara 10 sampai 15 meter”.
Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan
Perikanan Widi Agus Pratikto, diperlukan sebuah konsep yang efektif pada zona bahaya
rawan gempa dan tsunami. Dalam konsep itu terdapat tiga zona, yakni zona I
sebagai zona konservasi kawasan pesisir rawan tsunami, zona ini diarahkan
dengan pemeliharaan ekosistem padang lamun, terumbu karang, maupun mangrove, juga
dikembangkan pembangunan soft structure
yang dikombinasikan dengan kegiatan budidaya dan wisata bahari.
Ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai
macam satwa liar antara lain reptil dan ikan-ikan yang penting secara ekonomis
dan biologis seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih daripada itu,
ekosistem hutan mangrove sangat mendukung perikanan artisanal. Demi menekan
laju kerusakan mangrove lebih luas lagi maka perlu dilakukan upaya secepatnya
yang efektif dalam menekan kerusakan lebih lanjut. Menurut Haryanto (2003)
untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem
hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya
dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang
memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. Penerapan sistem wanamina
(sylvofishery) di ekosistem hutan
mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem
hutan mangrove secara lestari.
Kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana dapat diminimalisasi
dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan upaya pengelolaan
sumberdaya (ekosistem) yang ada di kawasan pesisir secara baik. Oleh karena
itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dan menyeluruh sebelum
dilakukan pengembangan dan pemanfaatannya dalam skala yang lebih luas lagi.
Disamping, perlu juga konsep atau model mitigasi lingkungan pesisir yang dapat
dijadikan bahan acuan untuk mengatasi degradasi lingkungan pesisir yang terus
berlangsung tersebut.
Dalam 24 tahun terakhir, keberadaan hutan mangrove di
Indonesia semakin parah. Pada tahun 1993 luas hutan mangrove di Indonesia 3,7
juta hektar. Namun pada tahun 2005, hutan mangrove tersebut tinggal sekitar 1,5
juta hektar. Sebagai penyangga kehidupan, hutan mangrove (bakau) tidak dapat
dipungkiri memiliki peran dan fungsi ekologis yang sangat penting (Anonim, 2007a).
Sumatera selatan merupakan provinsi yang memiliki kawasan mangrove yang sangat
luas. Menurut data interpretasi melalui GPS tahun 2006 (Anonim, 2006a), yang
melakukan inventarisasi dan identifikasi mangrove provinsi Sumatera selatan
menyatakan bahwa Banyuasin memiliki hutan mangrove cukup luas, yaitu sebesar
1.168.248,97 ha. Tetapi sangat disayangkan, sekitar 69,30 % mengalami rusak
berat dan kurang lebih 14,54 % mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi
karena berbagai hal terutama dari perilaku manusia itu sendiri. Dari evaluasi
yang dilakukan Dinas Kehutanan Lampung selama 2006, menunjukkan, hilangnya
hutan bakau yang seharusnya berfungsi sebagai sabuk hijau atau green belt itu terjadi akibat peruntukan
yang salah. Yaitu Pemanfaatan wilayah pesisir pantai untuk tambak-tambak udang
baik tradisional maupun modern. Selama ini, pemerintah kabupaten beranggapan
bahwa wilayah pesisir timur sangat potensial untuk tambak udang, sehingga
membuat kebijakan pengelolaan wilayah pesisir sebagai wilayah tambak (Anonim
2007a).
Demi menekan laju kerusakan mangrove lebih luas lagi maka
perlu dilakukan upaya secepatnya yang efektif dalam menekan kerusakan lebih
lanjut. Menurut Haryanto (2003) untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi
biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional
di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan
masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung.
Penerapan sistem wanamina (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu
pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara
lestari.
Perbedaan keuntungan Greenbelt Hutan Mangrove dalam konteks perlindungan Pantai
Kepulauan
Indonesia terletak diantara dua benua dan dua samudera, dan terbentuk sebagai
hasil interaksi tiga lempeng kerak bumi utama. Konsekuensi dari setting
lingkungan yang demikian adalah bahwa kondisi meteorologi dan oseanografi di
Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedua benua, kedua samudera maupun
konfigurasi lempeng kerak bumi di kawasan itu. Proses-proses geologi atau
bencana geologi yang berlangsung di kawasan tersebut sangat ditentukan oleh
kondisi meteorologi, oseanografi dan pola interaksi lempeng kerak bumi di
sekitarnya. Hasil analisis terhadap setting
lingkungan di kawasan Kepulauan
Indonesia dan sekitarnya menunjukkan bahwa bencana geologi yang dapat terjadi
di daerah pesisir dari pulau-pulau yang ada di Kepulauan Indonesia adalah
tsunami, gelombang badai, banjir luapan sungai, banjir pasang surut, erosi
pantai, sedimentasi dan subsiden. Karakter dari setiap bencana tersebut sangat
ditentukan oleh karakter dari pemicunya, yaitu memiliki tempat kejadian yang
tertentu, waktu kejadian yang tertentu, maupun muncul dengan gejala awal yang
tertentu pula (Setyawan, 2007).
Bencana mempunyai definisi yang
bermacam-macam, menurut Ongkosongo (2004) bencana sebagai sebuah dampak
kegiatan/resiko yang memberikan efek negatif terhadap manusia. UNESCO dalam stefen (2004) menjelaskan secara
umum bencana sebagai pengaruh yang diterima manusia sehingga menjadikan manusia
menjadi kehilangan dan menderita kerugian. Dengan kata lain, bencana adalah
batasan kemampuan manusia untuk meminimalkan resiko. Kalau resiko yang terjadi dapat diminimalkan, maka
bencana dikatakan berkurang.
Kegiatan-kegiatan pada tahap pra
bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya
untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, baik secara struktural
melalui pembuatan bangunan fisik, maupun nonstruktural melalui pendidikan,
pelatihan dan lainnya. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan
pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu
bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan
tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang (Anonymous, 2007).
Ada tiga macam
strategi pengelolaan yaitu strategi bertahan (protect), melindungi daerah-daerah pusat kegiatan yang rentan, strategi
mundur (retreat), meninggalkan segala
kegiatan yang ada sekarang dan memindahkan ke daerah yang aman, dan strategi
akomodatif, yaitu tetap memanfaatkan daerah yang rawan tapi menyesuaikan tata
gunanya dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.
Usaha proteksi daerah pesisir
dengan cara membuat struktur yang indigenous
(alami) dipandang lebih menguntungkan, penanaman mangrove, rehabilitasi dan
perluasan mangrove adalah cara-cara yang bisa dilakukan dalam upaya
perlindungan daerah pesisir. Disamping biaya relatif murah, efeknya berupa
keuntungan sosial ekonomi terhadap kehidupan sosio ekonomi masyarakat sekitar
juga tinggi. Disamping memproteksi daerah pesisir dari bencana alam besar
seperti tsunami, ekosistem mangrove juga memelihara daerah pesisir dengan
mengurangi erosi dan sedimentasi, memberikan suplai unsur hara yang cukup bagi
kelangsungan hidup flora dan fauna, meningkatkan produktivitas perikanan, yang
dikuatkan hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) yang menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi
perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi
perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan Y=0,06+0,15 X ; Y
merupakan produksi tangkapan dalam ton/th, sedangkan x merupakan luasan mangrove
dalam ha.
Pola Tata Ruang Ramah Bencana
Peranan Ekosistem Mangrove dalam Mitigasi Bencana Pesisir
Mangrove
mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9–398,8
ton/ha), guguran serasah (5,8–25,8 ton/ha/th), besarnya nilai produksi primer
tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis
organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem
mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang
lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem
pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis. Ekosistem mangrove merupakan
sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri
atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan
berbagai jenis fauna darat). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan
pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.
Dengan adanya kawasan mangrove
maka diperoleh beberapa manfaat yaitu:
1. Penanganan
abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain, dan mangrove
dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan disekitarnya.
2. Mangrove
memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat
berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut.
3. Secara
estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya. Bangunan laut
dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain.
4. Kawasan
Pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan.
5. Mangrove
dapat menetralisir lahan yang telah tercemar oleh logam berat.
Untuk
perlindungan tsunami, erosi dan badai, maka daerah sempadan pantai perlu
dihijaukan dengan mangrove. Demikian pula dengan kawasan pertambakan juga perlu
ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery),
yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove. Pola penghijauan empang
bisa dengan pola empang parit atau pola komplangan.
Empang parit adalah pola dimana dalam satu empang dibuat parit untuk budidaya
perikanan sedangkan sisanya ditanami mangrove. Empang komplangan adalah pola dimana dalam satu empang, separo empang
dipakai untuk budidaya perikanan dan sisanya ditanami mangrove (Soegiharto,
2006).
Fungsi dan manfaat mangrove
telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan,
pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin,
penyaring instrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya
bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar
serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar
tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun
2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan
pantai bagi perlindungan pantai.
Dilaporkan bahwa pada wilayah
yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung kurang terkena
dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan
mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon per 100 m. Dengan diameter
batang 15 cm dapat meredam sekitar 50 % energi gelombang tsunami (Harada dan
Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono,
2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan
energi gelombang sebesar 1493,33 joule
tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).
Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara
lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora
spp) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang
diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil
tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove sepanjang pantai dapat
memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski
(1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove terutama
perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi
gelombang saat melalui mangrove.
Hutan mangrove mampu mengikat
sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai.
Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan
mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam
kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998)
dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok,
menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/tahun, atau setara
dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia
alba); 9,0 kg/m2/tahun atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m2/th
atau 4,3 mm/tahun (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th
(mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove
Suwung 12,6 kg/m2/tahun atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5
kg/m2/tahun atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya
kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th
atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna
mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.
Subscribe to:
Posts
(
Atom
)