Wednesday, 11 September 2013

Conservation and Rehabilitation of Mangrove Forest using Silvofishery System (Wanamina) as one of the Community-Based Marine Protection Efforts (1)


Oleh : I Nyoman Budi Satriya

Beach area and mangrove forest are the target of the exploration of natural resources and environmental pollution due to the demands of development which focuses on economic activities. This paper focuses on the concept or the need for coastal mitigation model that can be used as a reference material for the continuous of degradation on coastal environment. Wanamina system is integrated between the activities of fish farming activities with the planting, maintenance, and management of mangrove conservation efforts, sylvofishery method is also one of  the naturally alternative  disaster mitigation in the coastal areas, There are 3 system of wanamina pattern that is empang parit, empang parit which more perfect, and   komplangan pattern.

Sekitar 75 % dari luas wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi / peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.

Salah satu kelemahan pengelolaan wilayah pesisir terpadu adalah tidak mensinergikan pengelolaan dampak bencana dan resiko. Karenanya, konsep regulasi pada ekosistem alam harus dimengerti. Upaya yang paling mungkin dilakukan adalah dengan mengembangkan teknik mitigasi bencana, untuk meminimalkan dampak yang diterima manusia. Beberapa pendekatan mitigasi yang penting adalah pendekatan pengelolaan ekosistem berbasis sumberdaya di wilayah pesisir, pendekatan teknik dan kelembagaan sumberdaya manusia. Dari sini diharapkan resiko yang terjadi dapat diminimalisir kalau tidak dapat dihilangkan.

Peran penting vegetasi hutan mangrove dalam mitigasi bencana alam daerah pesisir dalam mengurangi dampak tsunami, erosi dan sedimentasi telah banyak diketahui, ketebalan mangrove sekitar 1200 meter dapat mengurangi gelombang tsunami sekitar 2 kilometer. Penataan ruang secara terpadu di wilayah pesisir dengan mengikutsertakan komponen vegetasi mangrove didalam salah satu agendanya, merupakan agenda penting yang harus diterapkan di wilayah pesisir kita, terutama pada daerah-daerah yang rawan terkena dampak tsunami, erosi dan sedimentasi, penataan ruang ini dilakukan dengan pendekatan mitigasi bencana dan sifat-sifat alami lingkungan. 

Belajar dari kasus tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), diperoleh beberapa fakta, pertama, energi gelombang tsunami akan lebih besar dan semakin jauh ke daratan pada tipe pantai teluk, dibandingkan dengan pantai terbuka. Kedua, gelombang tsunami akan semakin jauh ke daratan jika kondisi pesisirnya miskin mangrove, untuk itu Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) merekomendasikan pembangunan vegetasi perlindungan pantai dengan penanaman mangrove dalam radius minimal sejauh 200 meter dari garis pantai ke arah belakang. “Tinggi vegetasi antara 10 sampai 15 meter”.

Menurut Dirjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Departemen Kelautan Perikanan Widi Agus Pratikto, diperlukan sebuah konsep yang efektif pada zona bahaya rawan gempa dan tsunami. Dalam konsep itu terdapat tiga zona, yakni zona I sebagai zona konservasi kawasan pesisir rawan tsunami, zona ini diarahkan dengan pemeliharaan ekosistem padang lamun, terumbu karang, maupun mangrove, juga dikembangkan pembangunan soft structure yang dikombinasikan dengan kegiatan budidaya dan wisata bahari.

Ekosistem hutan mangrove merupakan habitat bagi berbagai macam satwa liar antara lain reptil dan ikan-ikan yang penting secara ekonomis dan biologis seperti kakap, bandeng, belanak dan udang. Lebih daripada itu, ekosistem hutan mangrove sangat mendukung perikanan artisanal. Demi menekan laju kerusakan mangrove lebih luas lagi maka perlu dilakukan upaya secepatnya yang efektif dalam menekan kerusakan lebih lanjut. Menurut Haryanto (2003) untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. Penerapan sistem wanamina (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari.

Kerusakan lingkungan pesisir akibat bencana dapat diminimalisasi dengan berbagai cara. Salah satunya dengan melakukan upaya pengelolaan sumberdaya (ekosistem) yang ada di kawasan pesisir secara baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan langkah-langkah yang sistematis dan menyeluruh sebelum dilakukan pengembangan dan pemanfaatannya dalam skala yang lebih luas lagi. Disamping, perlu juga konsep atau model mitigasi lingkungan pesisir yang dapat dijadikan bahan acuan untuk mengatasi degradasi lingkungan pesisir yang terus berlangsung tersebut.

Dalam 24 tahun terakhir, keberadaan hutan mangrove di Indonesia semakin parah. Pada tahun 1993 luas hutan mangrove di Indonesia 3,7 juta hektar. Namun pada tahun 2005, hutan mangrove tersebut tinggal sekitar 1,5 juta hektar. Sebagai penyangga kehidupan, hutan mangrove (bakau) tidak dapat dipungkiri memiliki peran dan fungsi ekologis yang sangat penting (Anonim, 2007a). Sumatera selatan merupakan provinsi yang memiliki kawasan mangrove yang sangat luas. Menurut data interpretasi melalui GPS tahun 2006 (Anonim, 2006a), yang melakukan inventarisasi dan identifikasi mangrove provinsi Sumatera selatan menyatakan bahwa Banyuasin memiliki hutan mangrove cukup luas, yaitu sebesar 1.168.248,97 ha. Tetapi sangat disayangkan, sekitar 69,30 % mengalami rusak berat dan kurang lebih 14,54 % mengalami kerusakan. Kerusakan ini terjadi karena berbagai hal terutama dari perilaku manusia itu sendiri. Dari evaluasi yang dilakukan Dinas Kehutanan Lampung selama 2006, menunjukkan, hilangnya hutan bakau yang seharusnya berfungsi sebagai sabuk hijau atau green belt itu terjadi akibat peruntukan yang salah. Yaitu Pemanfaatan wilayah pesisir pantai untuk tambak-tambak udang baik tradisional maupun modern. Selama ini, pemerintah kabupaten beranggapan bahwa wilayah pesisir timur sangat potensial untuk tambak udang, sehingga membuat kebijakan pengelolaan wilayah pesisir sebagai wilayah tambak (Anonim 2007a).

Demi menekan laju kerusakan mangrove lebih luas lagi maka perlu dilakukan upaya secepatnya yang efektif dalam menekan kerusakan lebih lanjut. Menurut Haryanto (2003) untuk meningkatkan dan melestarikan fungsi biologis dan ekologis ekosistem hutan mangrove perlu suatu pendekatan yang rasional di dalam pemanfaatannya dengan melibatkan masyarakat di sekitar kawasan dan masyarakat yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove secara langsung. 

Penerapan sistem wanamina (sylvofishery) di ekosistem hutan mangrove merupakan salah satu pendekatan yang tepat dalam pemanfaatan ekosistem hutan mangrove secara lestari.
Perbedaan keuntungan Greenbelt Hutan Mangrove dalam konteks perlindungan Pantai


Kepulauan Indonesia terletak diantara dua benua dan dua samudera, dan terbentuk sebagai hasil interaksi tiga lempeng kerak bumi utama. Konsekuensi dari setting lingkungan yang demikian adalah bahwa kondisi meteorologi dan oseanografi di Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedua benua, kedua samudera maupun konfigurasi lempeng kerak bumi di kawasan itu. Proses-proses geologi atau bencana geologi yang berlangsung di kawasan tersebut sangat ditentukan oleh kondisi meteorologi, oseanografi dan pola interaksi lempeng kerak bumi di sekitarnya. Hasil analisis terhadap setting lingkungan di kawasan  Kepulauan Indonesia dan sekitarnya menunjukkan bahwa bencana geologi yang dapat terjadi di daerah pesisir dari pulau-pulau yang ada di Kepulauan Indonesia adalah tsunami, gelombang badai, banjir luapan sungai, banjir pasang surut, erosi pantai, sedimentasi dan subsiden. Karakter dari setiap bencana tersebut sangat ditentukan oleh karakter dari pemicunya, yaitu memiliki tempat kejadian yang tertentu, waktu kejadian yang tertentu, maupun muncul dengan gejala awal yang tertentu pula (Setyawan, 2007).

Bencana mempunyai definisi yang bermacam-macam, menurut Ongkosongo (2004) bencana sebagai sebuah dampak kegiatan/resiko yang memberikan efek negatif terhadap manusia. UNESCO dalam stefen (2004) menjelaskan secara umum bencana sebagai pengaruh yang diterima manusia sehingga menjadikan manusia menjadi kehilangan dan menderita kerugian. Dengan kata lain, bencana adalah batasan kemampuan manusia untuk meminimalkan resiko. Kalau resiko yang terjadi dapat diminimalkan, maka bencana dikatakan berkurang. 

Kegiatan-kegiatan pada tahap pra bencana erat kaitannya dengan istilah mitigasi bencana yang merupakan upaya untuk meminimalkan dampak yang ditimbulkan oleh bencana, baik secara struktural melalui pembuatan bangunan fisik, maupun nonstruktural melalui pendidikan, pelatihan dan lainnya. Mitigasi bencana mencakup baik perencanaan dan pelaksanaan tindakan-tindakan untuk mengurangi resiko-resiko dampak dari suatu bencana yang dilakukan sebelum bencana itu terjadi, termasuk kesiapan dan tindakan-tindakan pengurangan resiko jangka panjang (Anonymous, 2007).

Terdapat 2 macam upaya mitigasi bencana daerah pesisir yaitu upaya struktur (fisik) dan upaya non struktur (non fisik). Upaya struktur (fisik) terdiri dari metode perlindungan alami yang mencakup mangrove, sand dune, terumbu karang, hutan (penghijauan) dan metode perlindungan buatan yang mencakup breakwater, tembok laut, tanggul, konstruksi pelindung, bangunan pengendali, rumah panggung, instalasi pengolah limbah, dan terumbu karang buatan. Upaya nonstruktur (non fisik) meliputi antara lain : Pembuatan peta rawan bencana, peraturan perundangan, sistem peringatan dini, pemindahan/relokasi, tata ruang, tata guna lahan, zonasi dan penetapan sempadan pantai dan sungai. Informasi publik dan penyuluhan, penegakan hukum, pelatihan dan simulasi mitigasi bencana, AMDAL, Integrated Coastal and Ocean Management, dan pengentasan kemiskinan.



Ada tiga macam strategi pengelolaan yaitu strategi bertahan (protect), melindungi daerah-daerah pusat kegiatan yang rentan, strategi mundur (retreat), meninggalkan segala kegiatan yang ada sekarang dan memindahkan ke daerah yang aman, dan strategi akomodatif, yaitu tetap memanfaatkan daerah yang rawan tapi menyesuaikan tata gunanya dengan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

Usaha proteksi daerah pesisir dengan cara membuat struktur yang indigenous (alami) dipandang lebih menguntungkan, penanaman mangrove, rehabilitasi dan perluasan mangrove adalah cara-cara yang bisa dilakukan dalam upaya perlindungan daerah pesisir. Disamping biaya relatif murah, efeknya berupa keuntungan sosial ekonomi terhadap kehidupan sosio ekonomi masyarakat sekitar juga tinggi. Disamping memproteksi daerah pesisir dari bencana alam besar seperti tsunami, ekosistem mangrove juga memelihara daerah pesisir dengan mengurangi erosi dan sedimentasi, memberikan suplai unsur hara yang cukup bagi kelangsungan hidup flora dan fauna, meningkatkan produktivitas perikanan, yang dikuatkan hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan Y=0,06+0,15 X ; Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/th, sedangkan x merupakan luasan mangrove dalam ha. 


Pola Tata Ruang Ramah Bencana

Peranan Ekosistem Mangrove dalam Mitigasi Bencana Pesisir

Mangrove mempunyai nilai produksi bersih yang cukup tinggi, yakni: biomassa (62,9–398,8 ton/ha), guguran serasah (5,8–25,8 ton/ha/th), besarnya nilai produksi primer tersebut cukup berarti bagi penggerak rantai pangan kehidupan berbagai jenis organisme akuatik di pesisir dan kehidupan masyarakat pesisir. Ekosistem mangrove, baik secara sendiri maupun secara bersama dengan ekosistem padang lamun dan terumbu karang berperan penting dalam stabilisasi suatu ekosistem pesisir, baik secara fisik maupun secara biologis. Ekosistem mangrove merupakan sumber plasma nutfah yang cukup tinggi (misal, mangrove di Indonesia terdiri atas 157 jenis tumbuhan tingkat tinggi dan rendah, 118 jenis fauna laut dan berbagai jenis fauna darat). Ekosistem mangrove juga merupakan perlindungan pantai secara alami untuk mengurangi resiko terhadap bahaya tsunami.

Dengan adanya kawasan mangrove maka diperoleh beberapa manfaat yaitu:
1.   Penanganan abrasi lebih murah dibanding dengan membuat bangunan laut lain, dan mangrove dapat memberi dampak ikutan yang menguntungkan kualitas perairan disekitarnya.
2.  Mangrove memiliki sistem akar yang kuat, tajuknya rapat dan lebat sehingga dapat berfungsi sebagai pelindung pantai alami dan menahan intrusi air laut.
3.  Secara estetika mangrove lebih baik daripada bangunan laut lainnya. Bangunan laut dapat menyebabkan erosi dan sedimentasi di tempat lain.
4.     Kawasan Pertambakan dapat ditata ulang dengan sistem wanamina (silvofishery), yaitu perpaduan antara hutan mangrove dan perikanan.
5.      Mangrove dapat menetralisir lahan yang telah tercemar oleh logam berat.

Untuk perlindungan tsunami, erosi dan badai, maka daerah sempadan pantai perlu dihijaukan dengan mangrove. Demikian pula dengan kawasan pertambakan juga perlu ditata dengan menerapkan sistem wanamina (silvofishery), yaitu kombinasi antara perikanan dengan hutan mangrove. Pola penghijauan empang bisa dengan pola empang parit atau pola komplangan. Empang parit adalah pola dimana dalam satu empang dibuat parit untuk budidaya perikanan sedangkan sisanya ditanami mangrove. Empang komplangan adalah pola dimana dalam satu empang, separo empang dipakai untuk budidaya perikanan dan sisanya ditanami mangrove (Soegiharto, 2006).

Fungsi dan manfaat mangrove telah banyak diketahui, baik sebagai tempat pemijahan ikan di perairan, pelindung daratan dari abrasi oleh ombak, pelindung daratan dari tiupan angin, penyaring instrusi air laut ke daratan dan kandungan logam berat yang berbahaya bagi kehidupan, tempat singgah migrasi burung, dan sebagai habitat satwa liar serta manfaat langsung lainnya bagi manusia. Musibah gempa dan ombak besar tsunami yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Pulau Nias akhir tahun 2004 yang lalu telah mengingatkan kembali betapa pentingnya mangrove dan hutan pantai bagi perlindungan pantai.

Dilaporkan bahwa pada wilayah yang memiliki mangrove dan hutan pantai relatif baik, cenderung kurang terkena dampak gelombang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketebalan mangrove selebar 200 m dengan kerapatan 30 pohon per 100 m. Dengan diameter batang 15 cm dapat meredam sekitar 50 % energi gelombang tsunami (Harada dan Fumihiko, 2003 dalam Diposaptono, 2005). Gelombang laut setinggi 1,09 m di Teluk Grajagan, Banyuwangi dengan energi gelombang sebesar  1493,33 joule tereduksi gelombangnya oleh hutan mangrove menjadi 0,73 m (Pratikno et al., 2002).

Hasil penelitian Istiyanto et al. (2003) yang merupakan pengujian model di laboratorium antara lain menyimpulkan bahwa rumpun bakau (Rhizophora spp) memantulkan, meneruskan, dan menyerap energi gelombang tsunami yang diwujudkan dalam perubahan tinggi gelombang tsunami melalui rumpun tersebut. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa keberadaan mangrove sepanjang pantai dapat memperkecil efek gelombang tsunami yang menerjang pantai. Mazda dan Wolanski (1997) serta Mazda dan Magi (1997) menambahkan bahwa vegetasi mangrove terutama perakarannya dapat meredam energi gelombang dengan cara menurunkan tinggi gelombang saat melalui mangrove. 

Hutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda, Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m, sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998) dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m/tahun, atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9,0 kg/m2/tahun atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6,0 kg/m2/th atau 4,3 mm/tahun (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6,0 mm/th (mangrove campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove Suwung 12,6 kg/m2/tahun atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5 kg/m2/tahun atau 6,0 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari. 





 

No comments :