Monday, 15 December 2014

My Presentation about the Benefits of Sea Farming Utilization

Read More... My Presentation about the Benefits of Sea Farming Utilization

My Newest IELTS Score

Thx God for the result :)...



Read More... My Newest IELTS Score

Tuesday, 1 April 2014

Kegiatan Apresiasi Branding Produk Perikanan

Fasilitasi pengembangan pasar dalam negeri merupakan salah satu upaya yang terus menerus didorong dalam rangka mendukung kebijakan pembangunan Kementrian Kelautan dan Perikanan di bidang pengolahan pemasaran hasil perikanan yang fokus pada industrialisasi berbasis kawasan dan produk unggulan dengan menerapkan prinsip2 ekonomi biru untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-undang nomor 45 tentang perikanan dan Undang-undang nomor 18 tentang pangan. 



Telah banyak program dan kegiatan yang dinisiasi untuk mendukung implementasi undang-undang tersebut dan hingga saat ini telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Salah satu indikatornya adalah tingkat konsumsi ikan per kapita nasional yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian, pengembangan pasar dalam negeri juga masih dihadapkan pada sejumlah kendala utama seperti ; kontinuitas ketersediaan produk, kualitas dan citra produk yang belum sepenuhnya sesuai dengan preferensi pasar. 

Untuk itu salah satu program dan kegiatan strategis yang dikembangkan antara lain adalah fasilitasi branding produk perikanan dengan maksud meningkatkan citra produk perikanan baik di pasar global maupun pasar dalam negeri dan sekaligus meningkatkan kapasitas kelembagaan dan daya saing produk. Program fasilitasi branding produk perikanan ini telah dilakukan sejak tahun 2011 dan hingga saat ini telah menghasilkan beberapa produk yang sesuai dengan preferensi pasar, khususnya pasar ritel modern. 



Pemaparan materi oleh Bu Endang Konsultan Retail Modern Dirjen P2HP

Mengingat jumlah UMKM yang harus mendapatkan pembinaan sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh wilayah indonesia, maka sinergitas antar pemerintah pusat dan daerah, serta dukungan stakeholder lainnyasangat diperlukan agar program dapat berdampak luas. Untuk itu, diperlukan referensi umum sebagai acuan bersama bagi semua stakeholder dalam implementasi program tersebut. 

Kegiatan ini bertujuan untuk memberi pemahaman pada penyuluh kelautan dan perikanan untuk wilayah Indonesia bagian timur, terkait upaya peningkatan akses pasar produk perikanan khususnya melalui program branding. Setelah acara ini diharapkan program branding produk perikanan dapat dilakukan secara mandiri, meluas, sinergis dan sistematik di seluruh Indonesia. 

Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 23-25 Maret 2014 yang bertempat di Hotel Singgasana Surabaya ini terdiri dari 30 peserta, dimana narasumber berasal dari lingkup KKP dan swasta antara lain Direktur Pemasaran Dalam Negeri, Tenaga ahli / Fasilitator Kemasan, Branding dan Pemasaran, dan Direktur Penilaian Keamanan Pangan, Badan POM.

Beberapa materi yang diuraikan pada workshop ini adalah pada Sesi I Strategi penguatan daya saing produk hasil perikanan melalui branding, Sesi II Teknik Desain Kemasan, Sesi III yaitu Peran penyuluh sebagai motivator dan Mediator Pengembangan Produk Perikanan UMKM, Sesi IV yaitu Tata cara pendaftaran dan penanganan produk pangan, dan Sesi V yaitu Menyiapkan dan Mengembangkan Produk menuju Retail (pasar).



Foto Bersama Peserta Pelatihan.




Read More... Kegiatan Apresiasi Branding Produk Perikanan

Wednesday, 22 January 2014

GEMARIKAN (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan)

Apa Itu GEMARIKAN ?

Gerakan Memasyaraktkan Makan Ikan (GEMARIKAN) adalah gerakan moral yang memotivasi masyarakat untuk mengkonsumsi ikan secara teratur dalam jumlah yang disyaratkan bagi kesehatan agar terbentuk manusia Indonesia yang sehat, kuat dan cerdas.

Mengapa Harus Makan Ikan ?
1. Ikan Mempunyai nilai gizi yang sangat tinggi dan lengkap.

2. Meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan otak anak dimana mengandung DHA pada daging ikan dapat meningkatkan kecerdasan anak dan kesehatan mata, AA pada daging ikan berfungsi untuk pertumbuhan dan kekebalan tubuh dari penyakit, EPA dan DHA dapat menurunkan kolesterol dalam hati dan jantung.
3. Nilai protein ikan sangat tinggi, ikan mengandung protein yang lebih lengkap dibanding dengan protein hewani lainnya. Protein dalam tubuh ikan mengandung 20 asam amino penting terutama lysis, valin dan methionin. Protein ini berguna untuk pertumbuhan badan, mempertahankan dan memelihara kesehatan tubuh serta mencerdaskan otak.
4. Kandungan asam amino esensial sangat tinggi. Asam lemak tidak jenuh Omega 3 berfungsi untuk proses tumbuh kembangnya sel-sel otak yang sangat baik bagi tumbuh kembang otak anak. Omega 3 juga mempunyai kemampuan 2-5 kali untuk melawan kolesterol, memperlancar peredaran darah sehingga dapat mencegah terjadinya penyumbatan pembuluh darah yang merupakan penyebab penyakit jantung koroner. Omega 3 juga dapat mengurangi tekanan darah dan mencegah penyakit kulit serta mengurangi peradangan.
5. Kandungan kolesterol rendah.

Makan Ikan Harus Dibiasakan Sejak Dini
1. Daging ikan mudah dicerna. Mulai dari balita sampai dengan lansia dapat menikmatinya. Penyerapan protein pun tingkat cernanya sangat tinggi. Sehingga baik bagi anak-anak yang memiliki pencernaan yang agak bermasalah.
2. Diversifikasi olahan ikan pun sangat beragam. Diversifikasi ini mampu menarik anak-anak untuk menyukai mengkonsumsi ikan. Selain karena mudah dimakan, rasanya yang lezat, olahan yang beragam, dan cepat dapat disajikan.
3. Rasanya enak dan gurih sesuati dengan selera anak.
4. Mengandung asam amino essensial dan asam lemak omega 3.

Ciri-ciri Ikan Segar
1. Mata terang, bening, menonjol dan cembung.
2. Warna kulit cemerlang, sisik kuat dan mengikat.
3. Daging elastis dan kenyal.
4. Bau ikan segar dan spesifik (khas).

Jenis-Jenis Komoditas Perikanan
1. Ikan laut : tuna, kakap merah, kembung, cumi-cumi, udang, dll.
2. Ikan air tawar : ikan mas, nila, gurame, lele, patin, bawal, dll.
3. Ikan air payau : bandeng, udang dll.
4. Kepiting, rajungan, kerang, rumput laut, dll.







Read More... GEMARIKAN (Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan)

Friday, 17 January 2014

Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir.

Adanya sifat open access pada kawasan ekosistem hutan mangrove maka diperlukan upaya penataan zona di kawasan pesisir. Upaya tersebut dimaksudkan sebagai upaya meminimalkan kerusakan dan melestarikan fungsi ekologis dan ekonomis kawasan. Penataan zona disini adalah pembagian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi zona pemanfaatan dan zona perlindungan atau konservasi.

Penataan zona dalam upaya mitigasi bencana di daerah pesisir juga harus dikembangkan secara terpadu (integrated) antara darat dan laut, mitigasi bencana di laut dapat dilakukan dengan cara pengembangan daerah perlindungan laut (Marine Protected Area), perbaikan ekosistem terumbu karang melalui terumbu buatan, pengembangan silvofishery, dan rehabilitasi sempadan pantai melalui penanaman mangrove, sedangkan di darat proses mitigasi bisa dilaksanakan dengan penataan ruang/zonasi, dimana zona-zona di wilayah daratan dibedakan menjadi Zona 1 yaitu zona konservasi, dimana fungsi kegiatan langsung berhubungan dengan laut atau ekosistem pesisir dan laut. Contoh : hutan mangrove, pertambakan, prasarana kelautan dan perikanan, wisata bahari. Zona 2 yaitu zona penyangga dimana fungsi kegiatan tidak langsung berhubungan dengan laut tetapi berkaitan dengan produksi hasil laut dan perikanan, contoh : permukiman nelayan, industri hasil perikanan. Zona 3 yaitu zona bebas dimana fungsi kegiatan tidak langsung berhubungan dengan laut, contoh : perkotaan, perindustrian, pemerintahan, perdaganan dan jasa, di zona ini dikembangkan kegiatan yang merupakan pusat kegiatan penduduk perkotaan, contohnya fasilitas pendidikan, perdagangan, dan jasa.

Konsep Penataan Ruang berbasis mitigasi Bencana
Reboisasi
Reboisasi diperlukan untuk kawasan ekosistem hutan mangrove yang sudah terlanjur digunakan untuk usaha perikanan tetapi dengan proporsi yang tidak seimbang yaitu 80 % tambak dan 20 % hutan menjadi sebaliknya dan kawasan mangrove yang terkena abrasi.
Kendala upaya reboisasi di daerah tambak adalah kedalaman air kolam yang melebihi 1 meter. Pada kedalaman ini bibit bakau akan terapung, tidak akan mampu mencapai media tumbuh yang berupa lumpur. Pengurugan kolam tidaklah mungkin ditinjau dari aspek pembiayaan dan sumber tanah yang sejenis. Suatu jalan pemecahan yang mungkin dilakukan adalah dengan cara menanam bibi bakau didalam bumbung bambu. Bumbung bambu tersebut diisi lumpur kemudian ditanami bibit bakau dan ditancapkan di kolam-kolam.
Adapun kendala reboisasi di daerah abrasi adalah tidak adanya media lumpur yang memadai untuk tumbuh bibit bakau dan daerahnya labil karena selalu terkena ombak. Untuk reboisasi di wilayah ini, terlebih dahulu perlu dilakukan kegiatan prakondisi berupa pengamanan dari pukulan ombak dan penyediaan media tumbuh. Caranya adalah dengan pembuatan "groin" dari batu sepanjang garis pasang surut. Namun pembuatan groin ini memerlukan biaya yang cukup besar. Alternatif lain adalah membuat terucuk bambu yang rapat. Pembuatan groin atau terucuk bambu ini bertujuan untuk menahan lumpur yang terbawa ombak sehingga lama-kelamaan akan tersedia media tumbuh yang sesuai bagi pertumbuhan pohon. Jenis pohon yang cocok untuk daerah yang terkena abrasi adalah api-api (Avicenia sp).

Pengembangan Mina Hutan
Seperti diuraikan di atas, bahwa perlu adanya zonasi dikawasan ekosistem hutan mangrove salah satunya adalah zona pemanfaatan. Zona pemanfaatan dalam hal ini diperuntukkan bagi kegiatan mina hutan (sylvofishery).
Penerapan mina hutan dikawasan ekosistem hutan mangrove diharapkan dapat tetap memberikan lapangan kerja bagi petani di sekitar kawasan tanpa merusak hutan itu sendiri dan adanya pemerataan luas lahan bagi masyarakat. Harapan ini dapat terwujud dengan catatan tidak ada pemilik modal yang menguasai lahan secara berlebihan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, harus ada ikatan perjanjian antara pengelola tambak dan Dinas kehutanan, yang antara lain berisi kewajiban bagi pengelola tambak untuk menjaga kelestarian hutan serta sanksi bagi pengelola tambak mengingkari  kewajibannya.
Didaerah Blanakan, Subang Jawa Barat, ketentuan yang harus dipenuhi oleh pengelola tambak antara lain menjaga perbandingan hutan dan tambak sebesar 80 % hutan dan 20 % kolam. Jika perbandingan hutan dan tambak 50-80 % : 20-50%, pengelola tambak diberi peringatan dan jika perbandingan antara hutan dan tambak mencapai 50% : 50 % ijin pengelolaan dicabut.
Dengan pengembangan mina hutan secara lebih tertata dan perbandingan antara hutan dan tambak sebesar 80% : 20 %, diharapkan dapat meningkatkan produksi persatuan luas dan hasil tangkapan udang liar. Harapan tersebut didasarkan pada asumsi bahwa hutan disekitar kolam yang lebih baik akan meningkatkan kesuburan kolam dengan banyaknya detritus, yang secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap produksi. Disamping itu, hutan mangrove yang lebih baik akan menjadi tempat mengasuh anak yang cukup bagi udang, melindungi udang dari suhu yang tinggi dan menyediakan makanan yang lebih banyak bagi udang dan ikan. Lebih lanjut, daun mangrove yang jatuh diduga mengandung alelopaty yang dapat mengurangi keberadaan penyakit ikan dalam tambak.
Adapun sistem mina hutan yang dapat diaplikasikan adalah sistem empang parit dan sistem empang inti. Sistem empang parit adalah sistem mina hutan dimana hutan bakau berada di tengah dan kolam berada di tepi mengelilingi hutan. Sebaliknya sistem empang inti adalah sistem mina hutan dengan kolam di tengah dan hutan mengelilingi kolam.
Kelembagaan
Mengingat kepentingan strategis dan kompleksnya permasalahan di kawasan ekosistem hutan mangrove, maka perlu kelembagaan yang jelas yang diberi kewenangan untuk menangani kawasan tersebut secara menyeluruh. Jika selama ini pengelolaan kawasan hutan mangrove diserahkan kepada Dinas Kehutanan, maka perlu dilakukan badan khusus di dinas tersebut untuk mengani kawasan ekosistem hutan mangrove. Dengan adanya lembaga dimaksud diharapkan tidak ada tumpang tindih kepentingan antara bagian-bagian yang ada di Dinas Kehutanan.

Sistem Wanamina (sylvofishery) Sebagai alternatif pengelolaan Mangrove berbasis mitigasi bencana di daerah pesisir.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi dampak negatif tanpa menghilangkan fungsi ekonomis areal mangrove sebagai lahan budidaya perikanan dapat dilakukan melalui budidaya sistem polikultur dan wanamina. Sistem polikultur adalah sistem budidaya ikan yang dipelihara lebih dari satu jenis ikan dalam satu wadah. Sistem ini berguna untuk efisiensi penggunaan pakan alami yang ada di kolam. Sedangkan, silvofishery adalah suatu bentuk kegiatan yang terintegrasi (terpadu) antara budidaya air payau dengan pengembangan mangrove pada lokasi yang sama. Konsep silvofishery ini dikembangkan sebagai salah satu bentuk budidaya perikanan berkelanjutan dengan input yang rendah. Pendekatan antara konservasi dan pemanfaatan kawasan mangrove ini kemungkinan untuk mempertahankan keberadaan mangrove yang secara ekologi memiliki produktivitas relatif tinggi dengan keuntungan ekonomi dari kegiatan budidaya perikanan.
Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisir. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman polowijo,dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak.

Pada awalnya empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15 % dari total area garapan. Jarak tanam 3mx2m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup. Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20 % areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas.

Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp. 5.122.000,- ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995). Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadi, 1996). Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g, sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 Kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak.

Wanamina merupakan pola pendekatan teknis yang cukup baik, yang terdiri atas rangkaian kegiatan terpadu antara kegiatan budidaya ikan dengan kegiatan penanaman, pemeliharaan, pengelolaan dan upaya pelestarian hutan mangrove. Menurut Septifitri (2003) Perairan di Banyuasin Sumatera Selatan didominasi oleh hutan mangrove, dan cukup ideal untuk kehidupan perikanan.  Sehingga kawasan hutan mangrove di Banyuasin sangat cocok dikelola dengan sistem wanamina. Sistem ini memiliki teknologi sederhana, dapat dilakukan tanpa merusak tanaman bakau yang ada dan dapat dilakukan sebagai kegiatan sela sambil berusaha menghutankan kembali kawasan jalur hijau di daerah pantai yang kritis. Penerapan kegiatan wanamina di kawasan ekosistem hutan mangrove secara umum diharapkan dapat mencegah perusakan kawasan tersebut oleh masyarakat karena akan memberikan alternatif sumber pendapatan bagi masyarakat di kawasan tersebut.

Sedangkan untuk perambah hutan, dapat disediakan lapangan kerja sebagai pedagang dengan menjadikan kawasan wanamina sebagai kawasan wisata. Dengan demikian, kawasan wanamina dapat berfungsi ganda yaitu menjaga dan memelihara ekosistem serta menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat. Dari berbagai penelitian diketahui bahwa daun -daun mangrove yang telah gugur, yang jatuh ke dalam air akan menjadi substrat yang baik bagi bakteri dan fungi, yang sekaligus berfungsi membantu proses pembusukan daun menjadi detritus. Detritus akan digunakan oleh pemakan detritus seperti amphipoda, mysidaceae, dan lain-lain. Pemakan detritus akan dimakan oleh larva-larva, ikan, kepiting, udang dan lain-lain. Dengan kata lain, detritus organik akan merupakan sumber energi yang esensial bagi sebagian besar hewan estuaria.

Selain itu menurut Sudarmono (2005) nilai pakan lain yang penting dari ekosistem adalah berbagai organisme akuatik yang beberapa diantaranya memiliki nilai komersial memilih habitat mangrove sebagai tempat hidupnya. Tiga puluh persen produksi perikanan laut tergantung pada kelestarian hutan mangrove, karena kawasan mangrove menjadi tempat perkembangbiakan jenis-jenis ikan yang tinggi nilai komersilnya. Daun-daun  berjatuhan dan berakumulasi pada sedimen mangrove sebagai leaf litter (lapisan sisa-sisa daun) yang mendukung komunitas organisme detrial yang besar jumlahnya. Tanaman mangrove, termasuk bagian batang, akar dan daun yang berjatuhan memberikan habitat bagi spesies akuatik yang berasosiasi dengan ekosistem mangrove. Ekosistem ini berfungsi sebagai tempat untuk memelihara larva, tempat bertelur dan tempat pakan bagi berbagai spesies akuatik. Ikan merupakan komoditas yang memiliki nilai ekonomi tak langsung yang turut mempertahankan keberadaan kawasan mangrove. Semakin dijaganya ekosistem mangrove maka akan memberikan nilai ekonomi lebih besar bagi masyarakat, sehingga masyarakat sangat berperan dalam menjaga kelestarian ekosistem mangrove.

Pengembangan Silvofishery (wanamina)

Dengan dilakukannya pengelolaan kawasan mangrove melalui wanamina maka didapat beberapa manfaat secara ekologi dan ekonomi, yaitu :
1. Menjamin keberadaan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional.
2. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan tersebut, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang secara berkelanjutan. 
3. Meningkatkan daya dukung kawasan.
4. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial ekonomi.

Untuk pengembangan sistem wanamina (sylvofishery), di kawasan ekosistem hutan mangrove ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan :
1. Rencana pengembangan dan pengelolaan kawasan harus didasarkan atas asas kelestarian manfaat dan keterpaduan, dengan tujuan : a. Menjamin keberadaan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan luasan yang cukup dan sebaran proporsional, b. Mengoptimalkan aneka fungsi kawasan, termasuk fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial dan ekonomi yang seimbang dan berkelanjutan; c. Mendukung pengembangan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi.
2. Revitalisasi fungsi kawasan hutan mangrove.
3. Pengembangan kegiatan wanamina dengan proporsi 80 % kawasan untuk hutan dan 20 % untuk usaha perikanan.
Berbagai Tipe Pola Wanamina

Menurut Nuryanto (2003) sebagai kawasan hutan prinsip pengelolaan hutan mangrove tidak berbeda dengan pengelolaan hutan secara umum.  Hutan sebagai modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara harmonis dan seimbang. Oleh karena itu hutan harus dikelola dan diurus, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Dalam kedudukannya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan, hutan telah memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia, oleh karena itu harus dijaga kelestariannya. 

Pola wanamina Empang Parit.

PUSTAKA

Nuryanto, A. 2003. Sylvofishery (Mina Hutan) : Pendekatan Pemanfaatan Hutan Mangrove secara Lestari. IPB. www.tumotou.net.

Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Sylvofishery terhadap Pertambahan Berat Ikan Bandeng (Canos canos Forskal) di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Brebes. Jurnal Konservasi Kehutanan, Vol. 2, Agustus 2000: 109-124, UGM, Yogyakarta.

Septifitri. 2003. Pengelolaan Sumberdaya Udang di Estuaria Sungai Sembilang. IPB. www.tumotou.net.

Sudarmono. 2005. Tsunami dan Penghijauan Kawasan Pantai Rawan Tsunami. Inovasi. www.ppi-jpg.or.id.
Read More... Sistem Wanamina (Sylvofishery) Sebagai Alternatif Pengelolaan Mangrove berbasis Mitigasi Bencana di Daerah Pesisir.