Wednesday, 23 January 2013

Budidaya Udang Windu

Udang windu merupakan udang asli Indonesia. Udang ini telah dibudidayakan sejak akhir 70an. Masalah utama yang dihadapi budidaya udang windu dewasa ini adalah serangan penyakit yang hingga kini masih sukar diatasi dan pencemaran lingkungan. Yang dimaksud budidaya udang windu di laut dalam tulisan ini adalah dalam bentuk pentokolan benur sebelum di tebar di tambak. Salah satu tujuan pentokolan di laut adalah untuk mengurangi mortalitas akibat serangan penyakit pada tahap awal budidaya.

A. Sistematika
Famili     :  Penaeidae
Spesies  :  Penaeus monodon
Nama dagang : tiger shrimp
Nama Lokal   : doang

B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi

  

1. Ciri fisik
Ujung depan rostrum lengkung mengarah ke atas dengan gigi atas rostrum 7-8 buah dan gigi bawahnya 3 buah. Terdapat sebuah duri pada buku kedua pasangan pertama dan kedua dari kaki jalannya. Buku ketiga pasangan kaki jalan pertama dilengkapi pula dengan sebuah duri. Badannya berwarna kecoklatan dengan bercak-bercak biru dan berbelang-belang.
2. Pertumbuhan dan Perkembangan
Udang windu mulai dewasa pada umur 18 bulan. Udang yang telah matang telur dapat dilihat dari gonadnya yang berwarna hijau di bagian punggungnya, dari mulai bagian kepala hingga pangkal ekor. Udang jantan dapat dengan mudah dibedakan dari betinanya dengan pengamatan alat kelaminnya. Udang jantan memiliki petasma yang terletak pada pasangan kaki renang pertama. Sementara itu, betina memiliki thellycum yang terletak diantara pasangan kaki jalan ke 5.
Pada saat memijah, udang jantan akan memasukkan sperma ke dalam thellycum dengan bantuan petasma-nya segera setelah udang betina berganti kulit. Udang windu memiliki daur hidup dimulai dari telur yang telah dibuahi akan menetas menjadi larva pertama yang disebut nauplius (N). Nauplius  terdiri dari 6 substadia, yaitu nauplius I-VI. Larva tersebut kemudia akan bermetamorfosa menjadi zoea (Z) yang terdiri dari 3 substadia, yaitu Z I - Z III. Substadia berikutnya adalah mysis (M) I-III yang pada saatnya akan bermetamorfosa menjadi post larvae (PL). Udang windu mulai ukuran PL 8 sudah banyak yang dijual ke petambak sebagai benur. Pentokolan benur windu dari PL-12 dilakukan selama dua minggu sampai satu bulan. Stadia berikutnya adalah juwana dan dewasa.

C. Pemilihan Lokasi Budi Daya
Udang laut yang memiliki toleransi tinggi terhadap faktor lingkungan adalah udang windu. Udang ini dapat hidup dan tumbuh dengan cepat pada salinitas air tawar hingga 35 ppt. Namun demikian, salinitas optimal bagi kehidupan dan dan pertumbuhannya antara 15-25 ppt. Udang windu juga memerlukan lingkungan perairan dengan kisaran suhu 28-30 0C, kadar oksigen terlarut antara 4-7 mg/l, dan bebas dari metabolisme, khususnya NH3 dan H2S serta cemaran lainnya. Kadar aman NH3-N bagi PL 30-50 adalah 0,15 mg/l. Sementara itu, bagi udang muda dan dewasa masing-masing kadar tertingginya 0,1 mg/l dan 0,08 mg/l.


D. Wadah Budi Daya
Produksi tokolan udang windu menggunakan hapa pada unit keramba jaring apung di laut. Hapa terbuat dari kain kasa warna hijau ukuran 4m x 2m x 1m. Hapa diikatkan pada rakit berukuran 6 m x 6 m. Pelampung rakit terbuat dari drum plastik bervolume 200 liter sebanyak 9 buah per unit. Rakit dilengkapi jangkar sehingga posisinya selama pemeliharaan tidak mengalami perubahan. Untuk menjaga agar benur tetap dalam kondisi optimal, setiap hapa dilengkapi dengan selter secukupnya (minimal 40 untaian setara dengan 3 m waring utuh dengan lebar 90 cm). Separuh permukaan hapa ditutup gedek bambu untuk mengurangi intensitas cahaya matahari secara langsung.

E. Pengelolaan Budidaya
1. Pentokolan
Produksi tokolan udang windu sebenarnya sudah dikenal sejak 20 tahun yang lalu dengan beragam istilah, seperti pengipukan, pendederan, pentokolan. Namun demikian, pemanfaatan tokolan baru menunjukkan perkembangan nyata sejak 5 tahun terakhir seiring dengan makin meluasnya serangan penyakit udang di tambak.
Budi daya udang windu yang biasa dilakukan dalam KJA di laut adalah pentokolan. Pentongkolan merupakan stadia awal setelah dari panti benih (hatchery). Manfaat penggunaan tongkolan antara lain masa pemeliharaan di petak pembesaran lebih singkat (90 hari) dan peluang keberhasilan panen cukup besar karena tokolan sudah tahan terhadap perubahan lingkungan. selain itu, produktivitas tambak meningkat karena musim pemeliharaan bisa ditingkatkan menjadi tiga kali per tahun, sintasan antara 70-90 %, dan efisien dalam penggunaan pakan.
Sistem pentongkolan udang windu di KJA laut telah dikembangkan dengan modifikasi dari teknologi yang telah ada. Benur yang digunakan adalah post larvae (PL) 12 yang diperoleh dari hatchery  sekitar lokasi. Padat penebaran antara 2000-3000 ekor / m2.

2. Pemberian pakan
Udang windu merupakan pemakan detritus dan benthos (mahluk yang hidup di dasar perairan). Namun, udang ini sangat tanggap terhadap pakan buatan berbentuk pelet yang berkadar protein tinggi (40-42 %). Adapun pemberian pakan dalm KJA berupa pelet komersial dengan dosis menurun sesuai dengan bobot total/hari,  yaitu hari ke 1 sampai hari ke 6 sebesar 50 %; hari ke 6 sampai hari ke 15 sebesar 25%; hari ke 16 sampai hari ke 25 sebesar 8 %; hari ke 26 sampai hari ke 36 sebesar 6 %; dan hari ke 36 sampai hari ke 42 sebesar 5 %. Frekuensi pemberian pakan 4 kali sehari, yaitu pukul 07.00, 12.00, 17.00, dan 22.00. Produksi tokolan terbaik di KJA laut diperoleh pada masa pemeliharaan 15-30 hari dengan sintasan mencapai 73%.

F. Pengendalian hama dan penyakit
Pentongkolan benur dilakukan dalam hapa sehingga jarang ditemukan hama yang mengganggu. Mortalitas benur terutama disebabkan adanya perubahan salinitas yang mendadak dan perubahan suhu air yang mendadak.

G. Panen
Pemanenan dilakukan setelah masa pemeliharaan 15-30 hari dari benur PL 12 atau saat ada permintaan dari konsumen. Caranya yaitu dengan mengangkat waring sampai airnya kelihatan tinggal sedikit., kemudian tongkolan diambil pakai serok yang terbuat dari bahan halus/lunak. Tongkolan tersebut dimasukkan ke ember plastik yang berisi air untuk dilakukan penghitungan. 
Transportasi benih dilakukan secara terbuka atau tertutup. Pengangkutan secara terbuka hanya dilakukan untuk pengangkutan jarak dekat dan jumlah tokolan tidak banyak. Untuk pengangkutan jarak jauh, tokolan dimasukkan ke dalam kantong plastik (dirangkap dua) yang berisi air (2 l) dan tokolan sekitar 1000 ekor, kemudian dimasukkan oksigen. Perbandingan oksigen dengan air adalah 3 : 1. Kantong-kantong plastik ini dimasukkan ke dalam boks styrofoam, lalu diselipkan es yang sudah dikemas kantong plastik antara kantong plastik. Tujuannya agar suhu di dalam boks sekitar 20-22 0C.
Read More... Budidaya Udang Windu

Wednesday, 16 January 2013

Budidaya KIMA



Perairan Indonesia merupakan wilayah penyebaran 4 spesies kima, yaitu kima sisik (T. squamosa), Kima besar (T. maxima), kima lobang (T. crocea), dan T derasa. Selain itu, terdapat pula spesies kima lain, yaitu H. hypophus, T. gigas, dan H. porcellanus. Tridacna merupakan jenis kekerangan yang terkenal karena ukurannya relatif besar dan cangkangnya dimanfaatkan sebagai bahan baku industri hiasan. Karena perburuan yang intensif, jenis kekerangan ini berkurang populasinya sehingga mendapat perlindungan dengan dimasukkannya ke dalam CITES. Jenis kerang ini belum tercantum di dalam buku statistik produksi nasional maupun Global.

A. Sistematika
Famili      : Tridacnidae
Spesies   :  Tridacna spp.
Nama Dagang : giant clam
Nama lokal     : -

B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi 
1. Ciri fisik
Cangkangnya memiliki celah byssus tanpa gigi-gigi pengunci. Apabila dibentangkan sepenuhnya, mantelnya mencuat secara lateral melewati ujung cangkangnya. 
2. Pertumbuhan dan perkembangan
Laju pertumbuhan kima berbeda-beda menurut spesiesnya. Jenis kima yang terbesar ukurannya, yaitu T. gigas dapat mencapai ukuran lebih dari satu meter dan bobotnya sekitar 200 kg. Jenis kima lain yang berukuran besar adalah T. derasa yang panjangnya 60 cm. Ukuran jenis-jenis lain , seperti T. squamosa dan T. maxima berkisar 35-40 cm. Diantara ke-5 jenis Tridacna yang terkecil ukurannya adalah T. crocea. Ukuran terpanjang dari jenis kima tersebut sekitar 15 cm.

C. Pemilihan Lokasi Budidaya
Lokasi terbaik untuk budidaya kima adalah daerah yang memiliki air laut jernih (kecerahan > 10 m) dan berkadar garam tinggi (34-35 ppt) sepanjang tahun.

D. Wadah Budidaya
Upaya budidaya kima pada dasarnya mengarah pada kegiatan konservasi atau restocking / stock enhancement. Yang jelas kegiatan budi dayanya terutama dalam hal penyediaan benih. Untuk kegiatan pendederan digunakan tangki-tangki beton maupun fibreglass. 
Dari aspek ekologis, hewan ini merupakan salah satu organisme laut yang hidup di ekosistem karang. Beberapa jenis kima hidup menempel pada karang. Wadah budidaya untuk pembesaran kima adalah perairan karang terbuka. Benihnya yang sudah siap tebar adalah setelah masa juvenil yang dipelihara di bak selama 3-4bulan. 

E. Pengelolaan Budidaya
1. Penyediaan benih
Karang ini melalui fase trocophore, yaitu larva ditetaskan dari telur berubah menjadi veliger. selanjutnya, veliger berubah lagi menjadi pediveliger dan akhirnya menjadi kima muda. 
Tahapan pembenihan (hatchery) meliputi pemeliharaan larva yang dihasilkan dari telur yang dibuahi. Pelaksanaannya di dalam wadah yang ditempatkan di dalam ruangan (indoor) maupun di luar ruangan (outdoor).
2. Pendederan
Tahapan pendederan (nursery) berupa pemeliharaan kerang muda dari ukuran panjang cangkang 0,2 mm hingga mencapai kima muda berukuran 20-30 mm. Kegiatan ini dilaksanakan menggunakan tangki-tangki di hatchery (panti benih).
3. Tahapan pendederan di laut
Pada tahapan ini kima muda yang berukuran sekitar 20 mm dipelihara dalam wadah hingga panjang cangkangnya mencapai 200 mm.
4. Pembesaran
Tahapan pembesaran, yaitu dari ukuran 200 mm panjang cangkang hingga siap panen di laut. Tahapan ini belum dilaksanakan secara komersial karena belum ekonomis.

F. Pengendalian Hama dan Penyakit
Parasit pyramidellid menyerang dan menyebabkan kematian 100% dari T. squamosa yang digunakan dalam percobaan pemeliharaan. Kima juga sering menjadi mangsa gurita (oktopus). Seekor gurita dapat memangsa lebih dari 15 ekor kima dalam waktu beberapa malam. Penanggulangan penyakit tersebut belum banyak diketahui. 



G. Panen
Pembesaran kima dilakukan pada perairan terbuka. Istilah panen harus dibedakan antara pengumpulan/penangkapan kima dari alam yang mestinya dilarang, dan memanen hasil kegiatan stock enhancement. Untuk ukuran ekspor (panjang 15-20 cm), lama pemeliharaan sekitar 2 tahun. Pemanenan dilakukan dengan cara diambil pakai tangan dibantu alat tertentu pada area yang diberi tanda, bahwa daerah tersebut adalah lokasi stock enhancement. Pemanenan dalam kondisi hidup, misalnya untuk mengisi aquarium, karena harganya akan lebih mahal dibandingkan kima mati. 
Read More... Budidaya KIMA

Sunday, 13 January 2013

Budidaya Udang Barong



Lobster laut yang terdapat di Indonesia hanya udang barong. Produksi udang barong berasal dari hasil budi daya pada tahun 2006 mencapai 558 ton.

Udang barong aktif mencari makan pada malam hari. Pada siang hari, udang ini lebih suka tinggal di dalam lubang. Jenis makanan yang disukainya adalah berbagai jenis kekerangan berukuran kecil dan hewan bentik, seperti jenis Echinodermata. Udang ini juga menyukai pakan berupa daging ikan. 

Sistematika
Famili              : Panuliruidae
Spesies            : Panulirus spp.
Nama dagang  : spiny lobster
Nama lokal      : udang karang

Tubuh udang barong diselimuti cangkang keras berduri. Udang ini mempunyai sepasang sungut panjang (antenna) dan sepasang sungut pendek (antenulla). Selain itu, udang memiliki empat pasang kaki renang (pleopod) dan lima pasang kaki jalan (pereipod). Bagian ekornya terdiri dari telson (duri ekor) dan uropod (sirip ekor). Warna tubuhnya bervariasi menurut spesiesnya.

Di perairan laut selatan Jawa dan Nusa Tenggara terdapat 6 spesies udang barong, yaitu panulirus penicillatus (olivier), P. homarus, P. longipes, P. ornatus, P. versicolor, dan P. polyphagus. Ciri-ciri dari masing-masing spesies adalah sebagai berikut. 
a) P. penicillatus. Tubuhnya berwarna hijau tua/gelap dengan sapuan warna coklat melintang tubuhnya.
b)P. homarus. bagian punggungnya berwarna kebiru-biruan atau cokelat kemerah-merahan dan berbintik-bintik besar dan kecil berwarna kuning. Terdapat garis kuning melingkar di tiap bagian segmen. 
c) P. longipes. warna dasar tubuh merah kecoklatan terang sampai gelap atau kemerahan. Selain itu, terdapat bintik-bintik putih yang menyebar di seluruh tubuhnya. Adapau bagian kakinya terdapat garis cokelat atau kuning.
d) P. ornatus. Tubuhnya berwarna hijau belang kuning di bagian pinggir tiap sekat/buku.
e) P. versicolor. Tubuh atau punggungnya berwarna hijau terang dengan sapuan warna merah. Pada tiap ujung segmen terdapat guratan berbentuk pita hitam dengan garis putih di bagian tengahnya. Antena berwrna coklat. Bagian kakinya keputih-putihan. Sementara itu, bagian kepalanya kehitaman dengan bercak putih.
f) P. polyphagus. Tubuhnya berwarna dasar cokelat. Setiap ujung ruas tubuhnya terdapat guratan berbentuk pita berwarna putih dan cokelat gelap. 

Udang barong betina sudah matang telur pada ukuran panjang total 16 cm. Sementara itu, udang jantan yang telah matang godand berukuran lebih panjang, yaitu sekitar 20 cm. Seekor udang barong betina dapat menghasilkan 275000 butir telur pada setiap musim pemijahan. Adapun laju pertumbuhan tercatat 0,236 g/hari. 

Udang barong hidup di perairan laut, mulai dari daerah perairan pantai sampai lepas pantai. Penempatan KJA diusahakan pada perairan yang terlindung dari ombak besar dan angin kencang, seperti teluk, selat sempit, dan lagoon, dengan pertukaran massa air cukup bagus dan salinitas >25 ppt. Sementara ini, benih udang barong masih diperoleh dari hasil tangkapan di laut. Oleh karena itu, lokasi budidaya diusahakan tidak jauh dari daerah penangkapan. 

Ada dua model pemeliharaan udang barong, yaitu KJA bersekat (sistem baterai) dan tanpa sekat. KJA yang digunakan berukuran 2mx2mx2m. Dalam KJA bersekat, udang barong ditempatkan dalam kamar dengan kepadatan 1 ekor/kamar. Sementara itu, dalam KJA tanpa sekat, udang dipelihara secara massal. 

Yang sudah mulai dilaksanakan masyarakat pesisir di daerah Lombok (NTB) adalah berupa penampungan atau penggemukan sebelum dipasarkan atau pembesaran udang barong dengan benih dari hasil penangkapan.


Ukuran individu lobster pada saat tebar berkisar 20-50 g dengan padat tebar, yaitu 50 ekor/KJA. selama masa percobaan 6 bulan, udang diberi pakan berupa cincangan ikan rucah segar seberat 2-5 % bobot total/hari dengan frekuensi pemberian satu kali / hari. Angka sintasan (survival rate) udang barong yang dipelihara dengan sistem baterai mencapai 100 %. Udang tersebut ternyata terhindar dari mortalitas karena kanibalisme pada saat ganti kulit. Sementara itu, udang yang dipelihara secara massal menunjukkan tingkat kematian antara 4,3 - 7,5 %. 

Mortalitas yang sering terjadi dalam penampungan disebabkan sifat udang ini yang menjadi kanibal jika terjadi pergantian kulit. Oleh karena itu, budi daya pembesaran udang barong dilakukan penyekatan ruangan berbentuk kamar-kamar. 


Udang barong yang dipelihara dari ukuran 20-40 g dalam KJA dapat dipanen setelah mencapai 150-200 g dalam waktu 4-6 bulan. Pemanenan dilakukan dengan cara mengangkat karamba. selanjutnya, udang barong dipindahkan satu persatu dari tempat pemeliharaannya ke dalam boks styrofoam. Pengangkutan udang antar daerah maupun ekspor dilakukan dalam keaadan hidup. Selain itu, suhu diusahakan rendah sekitar 20 0C dengan kondisi tanpa air, tetapi lembab.

Read More... Budidaya Udang Barong

Budidaya Teripang Pasir


Di perairan Indonesia terdapat banyak jenis teripang. Namun demikian, yang memiliki nilai ekonomi tinggi hanyalah beberapa jenis saja, yaitu teripang pasir (Holothuria scabra), teripang perut hitam (H. atra), teripang susuan (H. nobilis), teripang perut merah (H.edulis), dan teripang nanas (Thelenota ananas). teripang merupakan lauk yang lezat dan disukai masyarakat cina dan bernilai jual tinggi dipasaran. Teripang diperdagangkan dalam bentuk awetan/kering.
Belum banyak negara di dunia yang membudidayakan teripang. Satu jenis teripang yang sudah banyak dibudidayakan di Indonesia ialah teripang pasir (Holothuria scabra). Budidaya teripang pasir memungkinkan dilakukan oleh masyarakat pantai. Hal ini disebabkan teknik budidayanya cukup sederhana dan investasi yang diperlukan relatif kecil.
Sistematika
Famili             :  Holothuridae
Spesies           :  Holothuria scabra
Nama Dagang : Sea Cucumber
Nama Lokal    : Mentimun laut
Bentuk badan memanjang mirip mentimun. Oleh karena itu, hewan ini biasa disebut mentimun laut atau sea cucumber. Mulut dan anus terdapat di kedua ujung badannya. Bagian punggungnya berwarna abu-abu dengan pita putih atau kekuningan memanjang secara horizontal. Bagian bawah tubuhnya berwarna putih dan berbintik-bintik hitam/gelap.
Teripang pasir dapat tumbuh sampai ukuran 40 cm dengan bobot 1,5 kg. Kematangan gonad hewan air berumah dua (diosis) ini pertama kali terjadi pada ukuran rata-rata 220 mm. Seekor teripang betina mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang sangat banyak hingga mencapai sekitar 1,9 juta butir telur. Daur hidup hewan ini dimulai dengan telur yang dibuahi yang akan menetas dalam waktu sekitar 2 hari.

  1. Lokasi budidaya terpang yang baik memnuhi kriteria sebagai berikut .
  2. Dasar perairan teridiri dari pasir. 
  3. Pasir berlumupur yang ditumbuhi oleh lumpur. 
  4. Pada surut terendah masih tergenang air yang dalamnya antara 40-80 cm
  5. Kecerahan air di atas 75 cm dan arus tidak terlalu kuat serta terlindung dari angin yang kencang.
  6. Perairannya tidak tercemar dan mudah dijangkau
  7. Salinitas antara 24-33 ppt serta suhu 25-30 0C
Di lokasi terpilih dibangun kurung tancap terbuat dari pagar bambu atau kayu. Kurung tancap tersebut berlapis waring nilon ukuran mata 0,2 cm di sebelah dalamnya. Pagar bambu / papan harus tertanam cukup dalam dan kuat ke dasar perairan sehingga tidak terjadi kebocoran pada kurungan. Luas kurungan sekitar 50 m2 atau disesuaikan dengan kebutuhan. Misalnya, penebaran benih teripang berukuran 40-60 g sebaiknya kepadatannya 6-8 ekor/m2 atau teripang berukuran lebih besar, yaitu antara 70-100 g dengan padat tebar 4-6 ekor / m2.

Benih teripang yang dipilih seragam, baik jenis maupun ukuran. Ciri benih yang baik adalah tubuhnya berisi dan tidak cacat. Hindari juga pemilihan benih yang sudah mengeluarkan cairan warna kuning.

Sebaiknya pengangkutan benih tidak dalam waktu lama (lebih dari satu jam) dan dalam keadaan tertumpuk / padat. Pengangkutan benih dilakukan pada pagi hari atau malam hari atau saat suhu rendah. Wadah yang digunakan dalam pengangkutan diberi substrat pasir, khususnya untuk sistem pengangkutan terbuka.

Penebaran bih teripang dengan bobot awal 40-60 g ditebar ke dalam kurung tancap dengan kepadatan 5-6 ekor/m2. Penebaran dilakukan pada pagi, sore hari, atau saat suhu udara / air rendah. Sebelum benih ditebar, benih perlu diadaptasikan terlebih dahulu untuk kondisi salinitas dan air di lokasi budidaya. 

Pakan teripang terdiri dari mikroorganisme, seperti bakteri dan protozoa, jasad benthos, makro alga, dan detritus. Selama pemeliharaan yang berlangsung sekitar 4-5 bulan, benih teripang diberi pakan berupa kototran ayam, kompos, atau dicampur dedak halus 0,1 kg/m2 sebanyak satu kali dalam seminggu.  Kotoran ayam atau dedak halus sebelum ditebar dicampur dengan air bersih, lalu diaduk merata agar tidak hanyut atau terapung. Pemberian pakan tersebut dilakukan pada saat air surut. Pemberian kotoran ayam berfungsi sebagai pupuk untuk merangsang pertumbuhan diatomae yang merupakan pakan utama teripang. 

Jenis hama yang sering dijumpai dalam kurungan teripang adalah kepiting, bulu babi, dan bintang laut. Pengendaliannya dengan pengambilan hama secara manual dengan periode tertentu. Sementara itu, jenis penyakit yang menyerang teripang dari famili Holothuridae belum banyak diketahui karena budi dayanya masih belum berkembanga.


Teripang ukuran konsumsi dengan bobot 300  - 500 g dapat dicapai setelah dipelihara selama 4-5 bulan untuk memanennya. Panen teripang dilakukan pada saat air surut terendah. Panen dilakukan beberapa kali karena banyak yang membenamkan diri dalam pasir atau lumpur. Untuk mengetahui apakah teripang sudah terpanen semuanya, dilakukan pengecekan pada saat air pasang karena teripang senang keluar dari persembunyiannya setelah air pasang. 


Read More... Budidaya Teripang Pasir

Saturday, 12 January 2013

Budidaya Ikan Cobia

Cobia (Rachycentron canadum) hidup di perairan tropis dan subtropis. Ikan ini banyak di temukan di pasifik, Atlantik, dan sebelah barat daya meksiko. Budi daya Cobia di Indonesia baru pada tahap percobaan. Namun demikian, pembenihan dan pembesaran cobia sudah bisa dilakukan.

Bentuk tubuh cobia menyerupai torpedo. Sebagai ikan perenang cepat, kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sisik berukuran kecil dan terbenam adalm kulit yang telbal. Sirip punggung panjang dengan duri dan jari-jari dengan rumus DVI-IX, 30-33. Di depan sirip punggung terdapt 6-9 duri keras pendek yang terpisah satu deng10 ekan lainnya. Sirip dubur cukup panjang dengan duri dan jari-jari berumus A II - III, 23-25. 

Badan berwarna cokelat gelap. Bagian bawah badan berwarna kekuning-kuningan. Terdapat dua garis tebal keperakan sepanjang tubuhnya pada ikan yang masih muda. Ukuran ikan di alam yang ditemukan 80-100 cm dengan panjang maksimum 180 cm.

Cobia ukuran juvenil (juwana) dengan bobot 200-300 g juga tertangkap di perairan barat laut Bali. Ikan cobia mempunyai pertumbuhan yang cepat, contohnya ikan berukuran 5-7 kg dapat tumbuh 1-2 kg/bulan. Ukuran cobia tersebut bisa mencapai bobot 12-15 kg dengan masa pemeliharaan selama 20 bulan di KJA.

Lokasi yang cocok untuk budi daya ikan cobia, id antaranya perairan selat kecil atau teluk yang terlindung dari ombak dan badai. Selain itu, pola pergantian massa airnya baik, bebas dari pencemaran, mudah memperoleh benih dan pakan, serta mudah terjangkau. 



Penempatan karamba biasanya menggunakan rakit yang kerangkanya terbuat dari kayu yang keras dan tahan terhadap pengaruh hujan, terik matahari, dan air. Kayu ulin atau kayu bayam berukuran 5 cmx 7 cm x 6 m atau 5 cm x 10 cm x 6 m dapat digunakan sebagai bahan rakit. Rakit biasanya menggunakan drum plastik berukuran 200 l yang dilengkapi jangkar berikut talinya. Keramba jaring berukuran 2mx2mx2m digunakan untuk benih berukuran 25 g. Sementara itu, ukuran 3mx3mx2m untuk ikan yang bobotnya 1 kg. 

Benih sudah bisa disediakan, khususnya pada Bali besar Riset Perikanan Budidaya Laut Gondol Bali

Padat tebar pada karamba jaaring berukuran 2mx2mx2m sekitar 800 ekor dengan ukuran benih 25 g. Setelah ukuran ikan mencapai 1 kg, ikan dipindahkan pada jaring yang berukuran 3m x 3m x 2m dengan kepadatan < 10 ekor / m3

Pemberian pakan bisa dengan ikan rucah maupun pakan buatan (pelet). Seperti diketahui budidaya ikan cobia di Indonesia baru berkembang, sampai saat ini belum ada laporan maupun belum diketahui jenis-jenis penyakit yang menyerang ikan budidaya ini. 

Cobia dapat dipanen jika telah mencapai ukuran 25-30 cm dari ukuran tebar berumur D1 dengan masa pemeliharaan 80-100 hari. Sistem panen secara total. Adapun cara panennya seperti panen ikan umumnya di KJA. 
Read More... Budidaya Ikan Cobia

Friday, 11 January 2013

BUDIDAYA IKAN KUWE


Kuwe merupakan salah satu jenis ikan permukaan (pelagis) ikan yang sangat digemari oleh masyarakat ini hidup pada perairan pantai dangkal, karang, dan batu karang. Di beberapa restaurant seafood harga ikan kuwe berukuran 300-400 g berkisar Rp. 15.000 - Rp. 20.000 / ekor (2005). Adapun harga Gnathanodon speciousus saat berukuran kecil (3-5 cm) pada tahun 2007 adalah Rp. 3000 - Rp. 5000 per ekor. Ikan tersebut juga merupakan ikan hias yang dinamakan pidana kuning Tubuh kuwe berbentuk oval dan pipih. warna tubuhnya bervariasi, yaitu biru bagian atas dan perak hingga keputih-putihan di bagian bawah. 

Tubuh disisipi sisik halus berbentuk cycloid. Kuwe dapat berenang cepat dan memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ikan laut lainnya. Ikan ini bersifat karnivora. Adapun pakan utamanya yaitu ikan dan krustacea berukuran kecil. Ikan ini juga efisien memanfaatkan pakan serta mampu hidup dalam kondisi yang cukup padat. Lokasi yang tepat untuk budidaya ikan kuwe adalah teluk yang terlindung dari ombak dan badai dan memiliki pola pergantian massa air yang baik. Ikan kuwe mempunyai prospek yang cukup baik untuk dibudidayakan dalam karamba jaring apung. 

Salah satu keunggulan budidaya ikan dalam KJA adalah waktu panen dapat diatur menyesuaikan harga ikan di pasar sehingga akan diperoleh harga jual yang lebih tinggi. Pembenihan secara massal di hatchery telah berhasil dilakukan di Gondol, Bali. Namun, hingga kini sumber benih ikan kuwe di daerah terpencil masih dari alam. Benih dengan ukuran sekitar 20-25 g banyak tersebar pada perairan dangkal di sekitar daerah padang lamun. Benih tersebut dapat ditangkap dengan penggunaan alat tangkap seperti redi (pukat pantai), sero, bandrong (jaring angkat), dan bagan. Penebaran benih sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Benih dimasukkan ke dalam karamba secara perlahan-lahan. Sebelum penebaran, kondisi kualitas air harus diperhatikan.

 Apabila kualitas air pengangkutan berbeda dengan kualitas air lokasi budi daya, perlu dilakukan adaptasi secara perlahan-lahan, terutama terhadap salinitas dan suhu. Benih berukuran 20-25 g dapat ditebar dengan kepadatan sekitar 150 ekor/m3 untuk pemeliharaan selama 3 bulan. Apabila ikan telah mencapai bobot >250 g/ekor, padat penebaran harus dikurangi sampai 100 ekor/m3. Ikan kuwe bersifat karnivora. Ikan ini dialam memakan ikan dan krustasea kecil. Oleh karena itu, hingga saat ini pakan yang terbaik untuk budi daya ikan kuwe masih berupa ikan rucah yang dipotong-potong sesuai dengan ukuran bukaan mulutnya. Pakan diberikan sebanyak 8-6 % bobot badan per hari pada pagi dan sore hari. Perubahan jumlah pemberian pakan dilakukan setiap bulan setelah dilakukan pengukuran pertumbuhan. 

Adapun penggunaan pelet komersial juga bisa dilakukan. Pelet yang diberikan berupa pelet tenggelam dengan frekuensi pemberian pelet dua kali sehari dengan jumlah pemberian hingga kenyang. Selama pemeliharaan ikan sering ditemukan parasit eksternal yang umum pada ikan budi daya laut, yaitu kutu kulit. Ada dua jenis kutu kulit yang ditemukan yaitu Neobenedenia dan benedinia. Jenis yang disebut pertama bersifat lebih patogen dibandingkan jenis kedua. Neobenedenia tidak hanya menyerang permukaan tubuh, tetapi juga mata yang dapat menyebabkan kebutaan dengan infeksi sekunder oleh bakteri.

 Upaya pencegahan dan pengobatan penyakit tersebut adalah sebagai berikut :
 - Pemberian pakan harus cukup memadai dan tidak berlebihan.
 - Kepadatan tebar tidak terlalu tinggi 
- Perendaman dengan hydrogen peroxida 150 ppm selama 30 menit dilakukan sebanyak 2-3 kali dengan   interval waktu 7 hari. 

Ikan kuwe dapat dipanen setelah pemeliharaan 5-6 bulan. Ikan kuwe dapat dipanen dengan ukuran konsumsi (300-400 g). dengan kelangsungan hidup 70-95%, dapat dihasilkan ikan rata-rata 28 Kg/M3. Pemanenan ikan dalam KJA sangat mudah dilakukan. Sistem pemanenan dapat dilakukan secara total atau selektif tergantung kebutuhan.
Read More... BUDIDAYA IKAN KUWE

ABALON

ABALON merupakan komoditas perikanan bernilai tinggi, khususnya di negara-negara maju di Eropa dan Amerika Utara. Biota laut ini dikonsumsi segar atau kalengan. Di Indonesia, jenis siput ini belum banyak dikenal di masyarakat dan pemanfaatannya baru terbatas di daerah-daerah tertentu, khususnya di daerah pesisir. Daging abalon mempunyai nilai gizi yang cukup tinggi dengan kandungan protein 71,99 % lemak 3,20 %, serat 5,60 %, dan abu 11,11%. Cangkangnya mempunyai nilai estetika yang dapat digunakan untuk perhiasan, pembuatan kancing baju, dan berbagai bentuk kerajinan lainnya. Produksi abalon saat ini lebih banyak diperoleh dari tangkapan di alam. Hal tersebut akan menimbulkan kekhawatiran terjadinya penurunan populasi di alam. 
A.Sistematika Famili : Haliotidae Spesies : Haliotis assinina, Haliotis squammata Nama Dagang : Abalone, donkey's ear Nama Lokal : Kerang lapar-kenyang, siput mata tujuh. 
B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi 1. Ciri Fisik Abalon mempunyai satu cangkang yang terletak pada bagian atas. Pada cangkang tersebut terdapat lubang-lubang dengan jumlah yang sesuai dengan ukuran abalon. Semakin besar ukuran abalon, semakin banyak lubang yang terdapat pada cangkang. Cangkang berbentuk telinga, rata, dan tidak memiliki operculum. Bagian cangkang sebelah dalam berwarna putih mengilap, seperti perak. Siput ini memiliki mata tujuh. Abalon banyak bergerak dan berpindah tempat dengan menggunakan satu organ yaitu kaki. Gerakan kaki yang sangat lambat sangat memudahkan predator untuk memangsanya. 2. Pertumbuhan dan perkembangan H. assinina termasuk salah satu jenis abalon yang berukuran relatif besar. Jenis ini dapat mencapai ukuran 8-10 cm dengan bobot 30-40 g/ekor dalam waktu pemeliharaan 12-14 bulan. Abalon tergolong hewan berumah dua atau diocis (betina dan jantan terpisah). Pembuahan telur dan sperma terjadi di luar tubuh, dimulai dengan keluarnya sperma ke dalam air yang segera diikuti keluarnya telur dari induk betina. Kematangan gonad induk jantan maupun betina berlangsung sepanjang tahun dengan puncak memijah terjadi pada bulan juli dan Oktober. Telur yang siap dipijahkan berdiameter 100 mu. Di laboratorium telur yang dipijahkan berdiameter rata-rata 183 mu. 
C. Pemilihan Lokasi Budidaya Abalon bisa ditemukan pada daerah yang berkarang yang sekaligus dipergunakan sebagai tempat menempel. Penyebaran abalon sangat terbatas, tidak semua pantai yang berkarang terdapat abalon. Umumnya abalon tidak ditemukan di daerah estuarin. Lokasi untuk pembesaran abalon adalah perairan karang yang terlindung dari gelombang dan angin yang kuat. Abalon membutuhkan media air yang yang bersih dan jernih. Nilai parameter kualitas air untuk suhu 27-30 C, salinitas 29-33 ppt, pH antara 7,6-8,1 dan DO 3,27-6,28 ppm. Jika akan dipelihara di bak, kualitas airnya harus diusahakan sama seperti di perairan karang.
D. Wadah budidaya Wadah budi daya berupa tangki fiberglass atau bak beton berukuran 3 m x 2m x 1m, bentuk segi empat yang berada dalam ruang tertutup (sistem indoor). Sebagai tempat penempelan abalon dipergunakan lembaran plastik tipis bergelombang ukuran 30cm x 40 cm sebanyak 21 lembar yang dipasang pada posisi tegak lurus mengggantung dalam bak pemeliharaan. Fasilitas pembesaran yang digunakan berupa keranjang plastik berbentuk silinder berukuran tinggi 12 cm, diameter 10 cm, dan bermata jala 0,5 cm. Keranjang plastik tersebut diisi 30 benih abalon berukuran panjang cangkang 18,23 - 18,34 mm. Ke dalam keranjang dimasukkan lempeng PVC yang dibengkokkan sebagai substrat dan pelindung. Keranjang tersebut digantungkan pada rakit yang ditempatkan di perairan teluk. 
E. Pengelolaan Budi Daya 1. Penyediaan benih Budi daya abalon telah dilakukan di Eropa, Amerika Serikat, Australia, Cina dan Taiwan. Di Indonesia, budi dayanya masih dalam bentuk rinttisan. Pembenihan abalon dimulai dengan pematangan calon-calon induk berukuran panjang 7-10 cm di dalam tangki fiberglass atau bak semen. Wadah tersebut berukuran 11 ton. Selama dalam proses pematangan, abalon diberi makan berupa rumput laut Gracillaria. 2. Penebaran Saat ukuran cangkang sudah mencapai panjang 5 mm, abalon dipindahkan ke dalam bak yang lebih besar, yaitu berukuran 1000 l. Pada awal proses pembesaran, abalon diberi pakan mikroalga yang menempel pada lembaran plastik. Secara bertahap pakan diganti dengan jenis Gracillaria sp. dan Acantophora sp. Selain itu, diterapkan sistem air mengalir dengan laju pergantian air sebesar 400 % per 24 jam. 3. Pemberian Pakan Abalon merupakan hewan herbivora , yaitu pemakan tumbuhan dan aktif makan pada suasana gelap. Hewan ini menyukai alga merah, alga cina cokelat, dan alga hijau termasuk rumput laut. 4. Pembesaran Pembesarannya bisa dengan metode tancap (pen-culture) dan metode rakit 
F. Pengendalian Hama dan Penyakit Hama merupakan hewan pengganggu dan pemangsa dalam budi daya abalon. Jenis predator dalam budidaya abalon adalah kepiting laut. Upaya pencegahan dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan cara manual pada periode waktu tertentu. Kematian massal abalon pernah terjadi dalam tanki pembesaran yang diatasi dengan penggunaan streptomysin dan neomysin. Adapun patogen yang diduga sebagai penyebab kematian abalon adalah bakteri. 
G. Panen Pemanenan abalon dilakukan tanpa menggunakan alat, tetapi menggunakan tangan setelah tercapai ukuran pasar. Pada daerah terpencil, abalon yang ditangkap nelayan diawetkan dengan cara direbus, kemudian dikeringkan sebelum dijual/diekspor. Untuk saat ini, hasil budidaya abalon dijual dalam bentuk diawet secara didinginkan / dibekukan.
Read More... ABALON

Wednesday, 9 January 2013

Budidaya Tiram Mutiara

Hingga sekarang mutiara hasil budidaya dunia dapat berupa mutiara laut dan mutiara air tawar. Produk mutiara laut yang dewasa ini diperdagangkan di pasar internasional adalah sebagai berikut : a. Akoya Pearl Mutiara berkualitas tinggi yang dihasilkan dari P. fucata. Ukuran maksimal 10 mm. Mutiara berwarna putih kehijauan dengan nuansa sangat indah. Jenis ini diproduksi di Jepang dan Cina. b. South Sea Pearl Mutiara ini diproduksi di Indonesia dan Australia yang dihasilkan dari P. maxima. Termasuk mutiara kelompok putih, berukuran besar sampai 18 mm. Jenis ini berwarna putih perak, kekuning-kuningan, pink dan keemasan. c. Black pearl Mutiara ini dihasilkan dari P. Margaritifera. Black pearl berpenampilan sangat menawan dan berwarna hitam pekat. Jenis ini berukuran lebih kecil dari ukuran south sea pearl. Negara penghasil utama : Tahiti, Hawaii, dan Cook Island. A. Sistematika Famili : Pteridae Spesies : Pinctada maxima P. margaritifera Nama dagang : pearl oyster Nama lokal : mutiara. B. Ciri-ciri dan Aspek Biologi 1. Ciri fisik Kerang mutiara mempunyai sepasang cangkang yang disatukan pada bagian punggung dengan engsel. Kedua belahan cangkang tidak sama bentuknya. Cangkang yang satu lebih cembung dibanding lainnya. Sisi sebelah dalam dari cangkang (nacre) berpenampilan mengkilap. 2. Pertumbuhan dan perkembangan Tiram mutiara adalah protandrous-hermaphrodite dengan kecenderungan perbandingan jantan : betina = 1 : 1, dengan adanya peningkatan umur. Pemijahan sering terjadi akibat perubahan suhu yang ekstrem atau terjadi perubahan lingkungan yang tiba-tiba. Pemijahan tiram mutiara di perairan tropis tidak terbatas hanya satu musim, tapi bisa sepanjang tahun. P. Margaritifera mendekati matang gonad pada tahun kedua, sedangkan P. maxima jantan matang gonad setelah berukuran cangkang 110-120 mm dalam tahun pertama hidupnya. Pertumbuhan merupakan aspek biologi yang paling penting bagi pembudidaya, terkait dengan pendugaan keberhasilan usahanya. Tiram mutiara P. margaritifera mencapai ukuran diameter cangkang 7-8 cm dalam tahun pertama, dan mendekati ukuran sekitar 11 cc pada tahun kedua. Pertumbuhan jenis lain, P. maxima, mencapai diameter cangkang 10-16 cm pada tahun kedua.
C. Pengelolaan Budidaya Untuk menghasilkan sebutir mutiara laut dari spat hatchery, diperlukan waktu sekitar 4 tahun. Teknologi budidaya mutiara laut terdiri atas pembenihan, pembesaran benih, produksi mutiara, dan panen. 1. Penyediaan benih. Awal pengembangan benih yang digunakan berasal dari penangkapan dari alam. Penangkapan dilakukan dengan menggunakan spat collector yang terbuat dari jaring nilon bermata jala halus. Kolektor tersebut dibentangkan di daerah penyebaran kerang mutiara. Dalam waktu 2-4 minggu, benih tiram (spat) akan menempel pada kolektor tersebut. Dewasa ini, dengan kemajuan ilmu dan teknologi, spat tiram mutiara sudah dapat dihasilkan melalui proses pembenihan di hatchery. Prosesnya dimulai dengan pemilihan induk yang sudah matang gonad. Sebaiknya induk-induk tersebut berasal dari populasi yang berbeda untuk menghasilkan benih yang berkualitas. 2) Pembesaran Di nurseri benih dipelihara sampai mencapai dewasa dan berukuran 10-12 cm selama 12-18 bulan. Pada ukuran tersebut proses produksi mutiara sudah dapat dilaksanakan. Adapun tahapan produksi mutiara sebagai berikut : a) memilah-milah tiram dewasa untuk disuntik. Pemilihan didasarkan atas ukuran, umur, dan kondisi kesehatan tiram. b) Menyiapkan potongan mantel berukuran sekitar 4-5 mm2 dan inti berukuran 3,03-9,09 mm. Potongan mantel (shaibo) tersebut diambil dari tiram yang secara sengaja disiapkan/dikorbankan untuk keperluan itu. c) Preconditioning (melemahkan) tiram untuk memudahkan pembukaan cangkang, sewaktu penyuntikkan inti dan transplantasi potongan mantel atau shaibo. d) menoreh irisan pada pangkal kaki menuju dekat gonad. Ke dalam torehan tersebut disisipkan inti dan shaibo yang diletakkan bersinggungan. e) Mengangkat ganjal baji dan menutup cangkang, lalu meletakkan tiram ke dalam keranjang. Keranjang tersebut terbuat dari jaring berbentuk empat persegi panjang. Untuk tiap keranjang, diletakkan 10 ekor tiram. f) Merawat tiram dengan cara membersihkan keranjang dan cangkang luar, membalikkan tiram, dan memeriksa apakah mutiara sudah terbentuk atau belum dengan menggunakan sinar x-ray. Perawatan ini dilakukan setiap 4 hari selama 2 bulan, kecuali pemeriksaan dengan sinar x-ray. g) memindahkan tiram ke dalam wadah pemeliharaan berbentuk keranjang berkantong terbuat dari jaring. dalam tiap lempeng terdapat 4 buah kantong. Setiap kantong diisi seekor tiram. Wadah tersebut digantung pada bentangan tambang atau longline. Tiram dan kantong dibersihkan setiap bulan.
D. Pengendalian Hama dan Penyakit. Hama umumnya menyerang bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, cacing, dan polichaeta yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator, seperti gurita dan ikan sidat. Upaya pencegahan dengan cara membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu. Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri dan virus. Parasit yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan Achromobacter sp. sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk mengurangi serangan penyakit pada tiram mutiara antara lain a. selalu memonitor salinitas agar dalam kisaran yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan tiram. b. menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi, seperti pemeliharaan tiram tidak terlalu dekat kepermukaan air pada musim dingin c. Lokasi budidaya dipilih dengan kecerahan yang cukup bagus. d. Tidak memilih lokasi pada perairan dengan dasar pasir berlumpur. E. Panen Setelah 18-24 bulan masa pemeliharaan, panen mutiara sudah bisa dilakukan. Selanjutnya, hasil panen dibersihkan atau digosok agar mengilap serta memilah mutunya.
Read More... Budidaya Tiram Mutiara

Monday, 7 January 2013

Perikanan Pancing Ulur Rumpon

Operasi penangkapan ikan di Indonesia pada umumnya dilakukan dengan cara berburu dan penuh ketidakpastian lokasi daerah penangkapan ikan (DPI) yang tepat. Hal tersebut sering dialami terutama oleh nelayan-nelayan kecil yang minim perlengkapan mutakhir. Akibatnya operasi penangkapan dilakukan secara gambling, sehingga tidak efisien, waktu, biaya, dan tenaga. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, maka dewasa ini teknologi rumpon banyak diterapkan di berbagai tempat di Indonesia. 

Rumpon merupakan alat bantu penangkapan yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya ikan-ikan yang menjadi target penangkapan. Rumpon biasanya terbuat dari daun kelapa yang dirangkai pada tali secara vertikal. Prinsip kerja rumpon adalah sebagai tempat berlindung dan tempat mencari makan ikan-ikan kecil, karena di daerah rumpon biasanya banyak terdapat zooplankton. Ikan-ikan tersebut merupakan makanan bagi ikan-ikan predator besar seperti tuna, tongkol, cakalang, marlin, dan lain-lain. Ikan-ikan tersebut merupakan ikan yang melakukan migrasi di laut lepas. Salah satu alat penangkap ikan yang digunakan nelayan di teluk Tomini Provinsi Gorontalo untuk menangkap ikan-ikan di sekitar rumpon adalah pancing ulur. Pancing ulur merupakan salah satu jenis pancing yang terdiri dari gulungan benang, benang pancing, pemberat, dan mata pancing. 

Pancing ulur banyak digunakan oleh nelayan kecil karena mudah dioperasikan dan relatif murah. Dengan adanya rumpon, produktifitas nelayan lebih meningkat dan lebih mudah dalam menangkap ikan dengan menggunakan pancing ulur. Oleh karena itu, rumpon dan pancing ulur merupakan alat penangkap ikan yang penting bagi nelayan Indonesia. 


TEKNIK PRODUKSI Konstruksi Pancing - Rumpon A. Pancing Ulur Pancing ulur terdiri dari beberapa bagian, diantaranya adalah tali pancing (line), mata pancing (hook) dan pemberat (sinker). Tali pancing umumnya terbuat dari bahan sintetis berupa PA (polyamide) dengan diameter berbeda-beda sesuai kebutuhan. Dalam satu uni pancing ada yang menggunakan lebih dari satu mata pancing.

B. Rumpon

Rumpon merupakan salah satu alat pengumpul ikan atau juga disebut Fish agregating Devices (FAD). Rumpon pada umumnya terdiri dari beberapa bagian, diantaranya adalah pelampung (float), daun kelapa, tali (rope), dan jangkar (anchor). Bagian pelampung (float) untuk rumpon sederhana ada yang terbuat dari bambu dan dipasang tiang bendera sebagai penanda keberadaan rumpon tersebut. Adapun untuk rumpon yang dipasang di perairan yang lebih dalam, bagian pelampung rumpon biasanya berupa tabung silinder terbuat dari fibreglass. Daun kelapa sebagai tempat berkumpulnya ikan ada yang terbuat dari serat sintetis berupa tali PE (Polyethilene) atau terbuat dari sisa-sisa jaring nelayan. Tali yang digunakan biasanya berupa tali PE, dengan panjang minimal 1,5 kali kedalaman perairan. Adapun jangkar terbuat dari semen atau batu dan terbuat dari kayu atau bambu bagi rumpon yang sederhana. 

METODE PENGOPERASIAN PANCING Metode pengoperasian pancing ulur pada daerah rumpon adalah sebagai berikut :
1. Persiapan, mempersiapkan seluruh perbekalan ke laut termasuk umpan dan lain-lain. Persiapan biasanya dilakukan pada waktu subuh atau menjelang pagi hari.

 2. Perjalanan menuju daerah penangkapan ikan, armada penangkapan menuju daerah penangkapan (rumpon) yang telah direncanakan. Waktu yang dibutuhkan unutk sampai ke lokasi pemasangan rumpon tergantung dari jarak rumpon dari fishing base.

 3. Pemasangan pancing, pemasangan pancing dilakukan dengan terlebih dahulu memasang umpan pada pancing tersebut. Umpan diperoleh dengan cara melakukan penangkapan terlebih dahulu menggunakan mata pancing berukuran kecil. Bila rumpon yang dipasang milik nelayan itu sendiri, maka pemasangan pancing dapat langsung dilakukan. Namun apabila rumpon tersebut milik nelayan lain, maka sebelum memaang pancing harus melapor terlebih dahulu kepada penjaga rumpon. Penjaga rumpon tersebut akan mencatat nama nelayan yang akan melakukan pemancingan di sekitar rumpon, kemudian melaporkan kepada pemilik rumpon di darat. Laporan ini bertujuan agar pembayaran kepada pemilik rumpon dilakukan ketika ikan hasil tangkapan selesai di lelang di TPI. 


4. Perendaman pancing Pancing direndam selama kurang lebih 2 jam. Untuk menarik perhatian ikan, biasanya nelayan menyentak nyentakkan tali pancing yang dipasang. 

5. Pengangkatan pancing dilakukan bila mata pancing dimakan oleh ikan. Untuk proses pengangkatan pancing, diperlukan keahlian khusus, karena ikan yang ditangkap berukuran besar. Bila umpan dimakan ikan, maka nelayan akan mengulur senar pancing dan kemudian menarik mendadak dengan menyentak senar. Kemudian ditarik perlahan-lahan hingga ikan naik ke atas kapal.

 6. Pemasangan ulang Bila hasil tangkapan belum mencukupi secara ekonomi, maka dilakukan proses penangkapan ulang.

7. Penjualan Hasil Tangkap Hasil tangkapan nelayan yang sudah masuk kelompok biasanya akan ditampung oleh perahu penampung, akan tetapi bagi nelayan non-anggota dapat menjual hasil tangkapannya dimana saja. 

 8. Kembali ke fishing base, operasi penangkapan dilakukan secara one day fishing atau satu hari melaut. Setelah proses penjualan dilakukan, maka nelayan akan pulang ke fishing base.  

HASIL TANGKAPAN Pancing ulur yang dioperasikan di sekitar rumpon memiliki hasil tangkapan utama berupa tuna mata besar (Thunus obesus), tuna sirip biru (Thunus maccoyii), albakora (Thunus alalunga), mandidihang (Thunus albacares), ikan layaran (Isthiophorus orientalis), setuhuk putih (Makaira mazara), ikan pedang (Xiphias gladius), setuhuk hitam (Makaira indica), Setuhuk loreng (Tetrapturus mitsukurii), tongkol (auxis sp), tenggiri, cakalang dan lain-lain.
Read More... Perikanan Pancing Ulur Rumpon

Sunday, 6 January 2013

Ikan Lemuru Selat Bali

Selat Bali, wilayah perairan yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali, memiliki keunikan tersendiri. Wilayah perairan dengan luas area sekitar 2,500 km2 ini menyimpan sumberdaya ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu ikan lemuru (Bali Sardinella). Produksi lemuru mencapai 80% dari total produksi ikan di Selat Bali. Peningkatan produksi terlihat sejak diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin (purse seine) kepada nelayan pada tahun 1974. Namun sejak pertengahan tahun 2010 kegiatan penangkapan ikan mengalami puncak kelesuan, lemuru tiba-tiba“menghilang” dari Selat Bali. Menghilangnya lemuru di Selat Bali diduga disebabkan perubahan kondisi oseanografi perairan akibat pengaruh perubahan iklim. Lemuru diperkirakaan bergerombol pada lapisan perairan yang lebih dalam yang tidak terjangkau oleh alat tangkap. 


Sumberdaya ikan lemuru tergolong ikan pelagis kecil yang termasuk ke dalam famili clupeidae. Bentuk tubuh lemuru bulat memanjang (fusiform), perut bulat, berwarna kehijauan pada bagian dorsal dan mengkilap ada bagian ventral. Lemuru merupakan ikan pemakan penyaring (filter feeder) dengan makanan utama adalah zooplankton, dimana sekitar 90% komposisi makanannya berupa Copepoda. (Burhanuddin et al., 1984). Lemuru memiliki kemampuan bermigrasi yang kuat dan terlihat dalam gerombolan (scholing) di daerah pesisir pada kedalaman kurang dari 60 m, (Merta, 2003). Distribusi ikan lemuru ditemukan hampir di seluruh Selat Bali. Daerah penangkapan tersebar di sepanjang pantai barat Pulau Bali dan pantai Timur Banyuwangi. Pemijahan lemuru terjadi 2 kali dalam setahun dan diperkirakan terjadi pada awal musim penghujan, namun lokasi pemijahan belum diketahui secara pasti. 


Keberadaan lemuru di Selat Bali erat kaitanya dengan kondisi oseanografi perairan. Suhu dan ketersediaan makanan merupakan faktor lingkungan yang membatasi distribusi ikan pelagis kecil, termasuk lemuru. Hendiarti et al. (2004) menyampaikan bahwa kondisi oseanografi Selat Bali dipengaruhi oleh monsson. Pada musim timur (Juni-Agustus) suhu relatif rendah dan konsentrasi klorofil-a meningkat, sedangkan musim barat (Desember-Februari) berlaku sebaliknya. Fenomena iklim regional (ENSO dan IOD) juga mempengaruhi kondisi oseanografi perairan Selat Bali (Sartimbal et al., 2010; Ghofar, 2000; Ghofar et al., 1999). Lemuru tertangkap sepanjang tahun, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan September – Desember, dengan puncak panangkapan pada bulan Nopember. Hal ini erat hubungannya dengan terjadinya upwelling di perairan Samudera Hindia selatan Jawa-Bali yang mempengaruhi kondisi perairan Selat Bali. 

Lemuru Di Selat Bali Tidak Hilang Beberapa waktu lalu pernah terdengar berita bahwa nelayan di Selat Bali merana karena sudah lama tidak melaut. Seperti dikutip dari sebuah harian nasional bahwa nelayan setengah karam di Muncar karena sudah 1,5 tahun bertahan ditengah krisis ikan. Sejatinya, setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksinya sehingga stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Hal ini menjadi tanda tanya besar,mengapa sumberdaya perikanan yang renewable (bisadiperbaharui)bisa hilang? Fenomena overfishing (kelebihan tangkap) di Selat Bali sudah lama menjadi perbincangan dan diduga menjadi penyebab hilangnya sumberdaya ikan, satu diantaranya ikan lemuru. Menurut penelitian,Selat Bali telah mengindikasikan terjadinya gejala biological overfishing dalam pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru akibat pengoperasian alat tangkap purse seine yang cukup menonjol. Penelitian lain mengatakan bahwa perikanan lemuru di Perairan Selat Bali dengan Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 34.000 ton per tahun sudah lebih tangkap (overfishing). Dan ada juga yang menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali telah terjadi gejala economic overfishing pada perikanan lemuru karena jumlah alat tangkap purse seine yang digunakan jauh lebih besar dibandingkan dengan stok ikan yang tersedia. 

Overfishing Tentang kondisi terakhir, overfishing yang terjadi di Selat Bali diketahui dari penilaian dengan pendekatan spesies tunggal lemuru. Alasannya karena spesies ini dianggap sebagai spesies yang selalu dominan ditangkap oleh nelayan di Selat Bali dan mengabaikan spesies yang lainnya. Hilangnya sumberdaya perikanan di Selat Bali diduga karena selama ini pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan Selat Bali lebih banyak berorientasi pada spesies tunggal lemuru karena hanya pasar spesies lemuru yang tersedia di wilayah perairan. Alhasil, spesies lainnya yang menjadi target penangkapan nelayan di Selat Bali diabaikan. Padahal, perikanan tropis seperti di Indonesia bersifat gabungan atau multispesies. Simak saja, satu armada penangkapan atau alat tangkap mampumenangkap beberapa spesies ikan.Seperti kasus di Selat Bali, armada penangkapan purse seine adalah armada penangkapan dominan yang bisamenangkap beberapa spesies ikan seperti lemuru (77,12%), tongkol (8,60%), layang (5,09 %), kembung (0,63%) dan spesies ikan lainnya (8,56%). Karena itu perubahan stok ikan lemuru di Selat Bali yang disinyalir hilang atau habis karena penangkapan juga perlu dikaji mendalam. Sebab berdasarkan hasil diskusi ilmiah di Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) terungkap bahwa perubahan tangkapan ikan lemuru di Selat Bali tidak semata karena degradasi stok oleh penangkapan. Menurut Dr Wayan Nurjaya,pakar oseanografi fisik dan kelautan IPB,perubahan stok terjadi karena proses adaptasi dari peningkatan suhu global, sehingga ikan lemuru melakukan migrasi vertikal ke perairan yang lebih dalam. Pernyataan ini mirip dengan hasil penelitian Prof Indra Jaya dan Fauziah, pakar Akustik Kelautan,bahwa gerombolan (schooling) ikan lemuru sebagian besar terdeteksi pada kedalaman lebih dari 100 meter.
Grafik Pendaratan rata-rata/bulan Muncar
 
PETA FISHING GROUND LEMURU SELAT BALI (PRADANA,2008)
Read More... Ikan Lemuru Selat Bali

Kapal KATAMARAN


Perairan Samudera Indonesia,terutama selatan Jawa, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (5-40 mil) masih belum dimanfaatkan secara optimal. Potensi perikanan Tuna pada perairan tersebut baru dimanfaatkan oleh kapal-kapal 10-20 GT dengan menggunakan pancing ulur yang hanya menjangkau lapisan perairan 30-40 Meter. Potensi perikanan Pelagis selama ini dimanfaatkan oleh kapal-kapal 10-30 GT dengan drift gillnet pada perairan 15-40 mil. Di Selatan Jawa terdapat lebih dari 8000 unit perahu motor tempel fibre glass berkatir (4000 diantaranya berada di selatan DIY dan Jateng) yang hanya beroperasi 1-3 mil dari garis pantai. 

Nelayan di selatan jawa, NTB, dan NTT belum memanfaatkan potensi SDI yang terdapat pada perairan di atas 5 mil. Kondisi tersebut membuktikan bahwa tekanan terhadap sumber daya pantai cukup tinggi, sehingga diperlukan teknologi kapal bagi nelayan kecil yang berupa kapal Katamaran. Konsep dasar teknologi katamaran adalah mengubah Perahu Motor Tempel (PMT) menjadi Kapal Motor (KM) dengan memanfaatkan teknologi pencetakan perahu fiber glass yang sudah ada. Sehingga dapat meningkatkan keamanan kapal perikanan dari PMT (Undecked Vessel) menjadi kapal motor. Juga dapat meningkatkan kemampuan kapal untuk mencapai daerah penangkapan hingga 20 mil laut dengan menggunakan berbagai jenis alat tangkap. 


KAPAL KATAMARAN (LAGANBAR) Kapal katamaran hasil rekayasa BBPI yang diberi nama Laganbar (Lambung Ganda Kembar) memiliki keunggulan sebagai berikut :
a. Stabilitas relatif baik
b. Kecepatan lebih baik
c. Memiliki geladak kerja yang relatif luas
d. Daya jelajah operasi lebih jauh (5-20 mil)
e. Tidak menggunakan katir.  

SASARAN PENGGUNA Nelayan skala kecil yang beroperasi di laut terbuka, seperti :
a. Nelayan Perairan Selatan Jawa, NTB, NTT
b. Nelayan Maluku Utara, Maluku, Maluku Tenggara
c. Nelayan kepulauan Banggai dan sekitarnya.
d. Nelayan Barat Sumatera, Riau kepulauan dan Natuna
e. Nelayan Perairan Papua
f. dll Gambar Teknis Ukuran Kapal (PxLxT) : 10 x 3.4 x 0.85 m Bahan kapal : Fibre Glass Gross Tonage (GT) : 2-3 GT Mesin Penggerak : 2 unit motor tempel 15-25 PK atau 1 unit motor tempel 40 PK Bahan bakar : Gas LPG dan bensin Daerah Penangkapan : 4 s/d 15 mil.
Skema Industrialisasi perikanan Armada semut / nelayan kecil dapat berperan untuk mendukung program industrialisasi perikanan. Ikan hasil tangkapan dengan kualitas tinggi yang dihasilkan nelayan kecil tersebut dapat dikelola, sehingga kapal pengangkut ikan dapat memenuhi kebutuhan produksi di darat dengan kualitas ekspor. Kapal katamaran beroperasi bersama kapal pengangkut ikan. Kapal pengangkut ikan akan membawa hasil tangkapan ikan kualitas tinggi menuju tempat pengolahan (fasilitas produk perikanan) di darat. Untuk produksi ekspor dapat dilakukan pengiriman setelah memenuhi persyaratan yang berlaku.
Read More... Kapal KATAMARAN

Friday, 4 January 2013

ALAT TANGKAP GILLNET

Gill net atau sering disebut juga sebagai “jaring insang”. Istilah gill net di dasarkan pada pemikiran bahwa ikan-ikan yang tertangkap “gill net” terjerat di sekitar operculumnya pada mata jaring. Dalam bahasa jepang, gill net disebut dengan istilah “sasi ami”, yang berdasarkan pemikiran bahwa tertangkapnya ikan-ikan pada gill net, ialah dengan proses bahwa ikan-ikan tersebut “menusukkan diri-sasu” pada “jaring-ami”. Di indonesia, penanaman gill net ini ber aneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan jenis ikan yang tertangkap (jaring karo, jaring udang, dan sebagainya), ada pula yang disertai dengan nama tempat (jaring udang bayeman), dan sebagainya (Ayodhyoa, 1981). Pengertian dari jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah satu jenis alat penangkap ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi panjang dimana mata jaring dari bagian utama ukurannya sama, jumlah mata jaring ke arah panjang atau ke arah horisontal (Mesh Length (ML)) jauh lebih banyak dari pada jumlah mata jaring ke arah vertikal atau ke arah dalam (Mesh Dept (MD)), pada bagian atasnya dilengkapi dengan beberapa pelampung (floats) dan di bagian bawah dilengkapi dengan beberapa pemberat (sinkers) sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan memungkinkan jaring insang dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan tegak (Sadhori, 1985). Warna jaring pada gill net harus disesuaikan dengan warna perairan tempat gill net dioperasikan, kadang dipergunakan bahan yang transparan seperti monofilament agar jaring tersebut tidak dapat dilihat oleh ikan bila dipasang diperairan (Sadhori, 1985). Klasifikasi Gill Net Menurut Sudirman, (2004) berdasarkan kontruksinya, jaring insang dikelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu berdasarkan jumlah lembar jaring utama dan cara pemasangan tali ris. Klasifikasi berdasarkan jumlah lembar jaring utama ialah sebagai berikut: 1. Jaring insang satu lembar (Single Gill Net) Jaring insang satu lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari hanya satu jaaring, tinggi jaring ke arah dalam atau mesh depth dan ke arah panjang atau mesh length disesuaikan dengan target tangkapan, daerah penangkapan, dan metode pengoperasian. 2. Jaring insang double lembar (Double Gill Net atau Semi Trammel Net) Jaring insang dua lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari dua lembar jaring, ukuran mata jaring dan tinggi jaring dari masing-masing lembar jaring, bisa sama atau berbeda antara satu dengan yang lainnya. 3. Jaring insang tiga lembar (Trammel Net) Jaring insang tiga lembar adalah jaring insang yang jaring utamanya terdiri dari tiga lembar jaring, yaitu dua lembar jaring bagian luar (outter net) dan satu lembar jaring bagian dalam (inner net).
Trammel Net Sedangkan menurut Sadhori (1985), berdasarkan kontruksi dari cara pemasangan tali ris, jaring insang dibagi ke dalam 4 (empat) jenis yaitu: 1. Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan jaring utama bagian bawah dengan tali ris bawah disambungkan secara langsung. 2. Jaring utama bagian atas disambungkan secara langsung dengan tali ris atas dan bagian jaring utama bagian bawah disambungkan melalui tali penggantung (hanging twine) dengan tali ris bawah. 3. Pemasangan jaring utama bagian atas dengan tali ris atas disambungkan melalui tali penggantung dan bagian bawah dari jaring utama disambungkan secara langsung dengan tali ris bawah. 4. Jaring utama bagian atas dengan tali ris atas dan bagian jaring utama bagian bawah dengan tali ris bawah disambungkan melalui tali penggantung.
Penamaan gill net berdasarkan cara operasi ataupun kedudukan jaring dalam perairan maka Ayodhyoa (1981))membedakan antara: 1. Surface Gill Net Pada salah satu ujung jaring ataupun pada kedua ujungnya diikatkan tali jangkar, sehingga letak (posisi) jaring jadi tertentu oleh letak jangkar. Beberapa piece digabungkan menjadi satu, dan jumlah piece harus disesuaikan dengan keadaan fishing ground. Float line (tali pelampung, tali ris atas) akan berada di permukaan air (sea surface). Dengan begitu arah rentangan dengan arah arus, angin dan sebagainya akan dapat terlihat. Gerakan turun naik dari gelombang akan menyebabkan pula gerakan turun naik dari pelampung, kemudian gerakan ini akan ditularkan ke tubuh jaring. Jika irama gerakan ini tidak seimbang, juga tension yang disebabkan float line juga besar, ditambah oleh pengaruh-pengaruh lainnya. Kemungkinan akan terjadi peristiwa the rolling up of gill net yaitu peristiwa dimana tubuh jaring tidak lagi terentang lebar, jaring tidak berfungsi lagi sebagai penghalang/penjerat ikan. 2. Bottom Gill Net Pada kedua ujung jaring diikatkan jangkar, sehingga letak jaring akan tertentu. Hal ini sering disebut set bottom gill net. Jaring ini direntangkan dekat dengan dasar laut, sehingga dinamakan bottom gill net, berarti jenis-jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan ialah ikan-ikan dasar (bottom fish) ataupun ikan-ikan demersal. Posisi jaring dapat diperkirakan pada float berbendera/bertanda yang diletakkan pada kedua belah pihak ujung jaring. Pada umumnya yang menjadi fishing ground adalah daerah pantai, teluk, muara yang mengakibatkan pula jenis ikan yang tertangkap dapat berbagai jenis, misalnya hering, cod, flat fish, halbut, mackerel, yellow tail, sea bream, udang, lobster dan sebagainya. 3. Drift Gill Net Sering juga disebut dengan drift net saja, atau ada juga yang memberi nama lebih jelas misalnya ”salmon drift gill net”, atau ”salmon drift trammel net”, dan ada pula yang menerjemahkannya ”jaring hanyut”. Posisi jaring ini tidak ditentukan oleh adanya jangkar, tetapi bergerak hanyut bebas mengikuti arah gerakan arus. Pada satu pihak dari ujung jaring diletakkan tali, dan tali ini dihubungkan dengan kapal, gerakan hanyut dari kapal sedikit banyak juga dapat mempengaruhi posisi jaring. Selain dari gaya-gaya arus, gelombang, maka kekuatan angin juga akan mempengaruhi keadaan hanyut jaring. Drift gill net juga dapat digunakan untuk mengejar gerombolan ikan, dan merupakan alat penangkap yang penting untuk perikanan laut bebas. Karena posisinya tidak ditentukan oleh jangkar, maka pengaruh dari kekuatan arus terhadap tubuh jaring dapat diabaikan. Gerakan jaring bersamaan dengan gerakan arus sehingga besarnya tahanan dari jaring terhadap arus dapat diabaikan. Ikan-ikan yang menjadi tujuan penangkapan antara lain saury, mackarel, flying fish, skip jack, tuna, salmon, hering, dan lain-lain. 4. Encircling Gill Net atau Surrounding Gill Net Gerombolan ikan dilingkari dengan jaring, antara lain digunakan untuk menghadang arah lari ikan. Supaya gerombolan ikan dapat dilingkari/ditangkap dengan sempurna, maka bentuk jaring sewaktu operasi ada yang berbentuk lingkaran, setengah lingkaran, bentuk huruf V atau U, bengkok-bengkok seperti alun gerombolan dan masih banyak jenisnya lagi. Ikan setelah terkurung dalam lingkaran jaring, dikejuti, sehingga ikan-ikan akan terjerat pada mata jaring. Tinggi jaring diusahakan sesuai dengan kedalaman perairan. Oleh sebab itu pada saat operasi keadaan pasang/surut perlulah diperhatikan. Alat tangkap ini juga banyak digunakan oleh nelayan untuk menangkap ikan-ikan yang hidup di perairan karang, yaitu dengan memasang alat tangkap di sekitar atau melingkari karang. Pada praktikum laut Metode Penangkapan Ikan, apabila dilihat dari ciri-cirinya, gill net yang digunakan oleh kelompok kami adalah termasuk jenis surface gill net. Gill net yang digunakan yaitu dengan keadaan yang hanyut di perairan, karena jaring insang yang berada pada permukaan air dengan bantuan oleh sejumlah pelampung, sehingga jaring ini hanyut bersama arus terpisah dari atau lebih sering bersama perahu yang memegang salah satu ujungnya. Metode Pengoperasian Alat Tangkap Gill Net Sebelum operasi penangkapan di mulai, semua peralatan dan perbekalan yang diperlukan untuk menangkap ikan dengan menggunakan gill net harus dipersiapkan dengan teliti. Jaring harus disusun di atas kapal dengan memisahkan antara pemberat dan pelampung supaya mudah menurunkannya dan tidak kusut. Metode operasi penangkapan ikan dengan menggunakan gill net dibagi menjadi tiga tahap, yaitu “setting”, “immersing”, dan “hauling” (Sadhori, 1985). 1. Lama penebaran jaring “setting” Bila kapal telah mencapai di daerah penangkapan, segera persiapan penebaran jaring dimulai. a. Mula–mula posisi kapal ditempatkan sedemikian rupa agar arah angin datangnya dari tempat penurunan jaring. b. Setelah kedudukan atau posisi kapal sesuai dengan yang dikehendaki, jaring dapat diturunkan. Penurunan jaring dimulai dari penurunan pelampung tanda ujung jaring atau lampu kemudian tali selambar depan, lalu jaring dan yang terakhir kali selambar pada ujung akhir jaring atau selambar belakang yang biasanya terus di ikatkan pada kapal. c. Pada waktu penurunan jaring yang harus diperhatikan adalah arah arus laut, karena kedudukan jaring yang paling baik adalah memotong arus antara 450-900. 2. Lama perendaman jaring “immersing” Gill net didiamkan terendam dalam perairan sampai kira–kira selama 3–5 jam. 3. Lama penarikan jaring “hauling” Setelah jaring dibiarkan di dalam perairan selama ± 3–5 jam, jaring dapat di angkat (dinaikkan) ke atas kapal untuk diambil ikannya. Urutan penarikan jaring ini merupakan kebalikan dari urutan penebaran jaring, yaitu dimulai dari tali selambar belakang, baru jaring, tali selambar muka, dan terakhir pelampung tanda. Penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap gill net umumnya dilakukan pada waktu malam hari (Waluyo, 1972). Spesies ikan sasaran dari alat tangkap gill net adalah tetengkek (Megalacpis cordyla), ikan terbang (Cypselurus sp), ikan belanak (Mugil sp), ikan kuro (Polynemus sp), ikan alu–alu (Sphyraena sp), ikan tenggiri (Scromberomorus commersoni), dan lain-lain. Konstruksi gill net Ayodhyoa (1974) menyatakan bahwa pada konstruksi umum, yang disebutkan dengan gill net ialah jaring yang berbentuk persegi panjang yang mempunyai mata jaring yang sama ukurannya pada seluruh jaring, lebar jaring lebih pendek jika dibandingkan dengan panjangnya, dengan kata lain, jumlah mezh depth lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah mezh size pada arah panjang jaring. Pada lembaran-lembaran jaring, pada bagian atas dilekatkan pelampung (float) dan pada bagian bawah diletakkan pemberat (sinker). Dengan menggunakan gaya yang berlawanan arah, yaitu bouyancy dari float yang bergerak menuju ke atas dan sinking force dari sinker diditambah dengan berat jaring di dalam air yang bergerak menuju ke bawah, maka jaring akan terlentang. Detail konstruksi, kedua ujung jaring diikatkan pemberat. Posisi jaring dapat diperkirakan pada float berbendera atau bertanda yang dilekatkan pada kedua belah pihak ujung jaring. Karakteristik, gill net berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan pelampung yang terbuat dari plastik, pemberat pemberat yang terbuat dari timah, tali ris atas dan tali ris bawah yang bahannya terbuat dari plastik. Besarnya mata jaring bervariasi tergantung sasaran yang akan ditangkap baik udang maupun ikan.a
Read More... ALAT TANGKAP GILLNET

Wednesday, 2 January 2013

LPG Untuk Kapal Perikanan

Besar kecilnya kapal perikanan menentukan banyak sedikitnya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dikonsumsi. Sekitar 70 % biaya operasional penangkapan ikan dibelanjakan untuk BBM. Bila harga BBM naik, maka biaya belanja BBM akan membengkak, yang berakibat pada menurunnya pendapatan nelayan bahkan merugi dalam usaha penangkapan ikan yang dilakukannya. Menurut Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH MIGAS), pada tahun 2012 kebutuhan BBM untuk nelayan di Indonesia sebesar 1,8 juta kiloliter. Jumlah tersebut digunakan untuk menyuplai sekitar 550 ribu unit kapal, dimana 335 ribu diantaranya merupakan perahu/kapal bermotor skala kecil (5 GT atau kurang), yang sangat membutuhkan BBM bersubsidi, baik bensin-premium maupun minyak solar. Pelaksanaan kebijakan energi nasional (Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 5 tahun 2006, tentang kebijakan energi nasional), di bidang perikanan tangkap diterjemahkan dalam bentuk penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) sebagai sumber energi substitusi BBM LPG adalah Bahan Bakar Gas yang berupa Liquefied Petroleum Gas dengan merek dagang ELPIJI yang dipasarkan oleh PERTAMINA dalam kemasan tabung 3 kg dengan cara ditekan (pressurized), berupa LPG Campuran (Mix LPG), dengan komposisi sekitar 30% gas propana (C3H8) dan 70% gas Butana (C4H10), serta ditambahkan suatu zat merkaptan. Indonesia memproduksi 3 jenis LPG yang dipasarkan oleh Pertamina, yaitu LPG campuran, LPG Propan dan LPG Butan. LPG propan mengandung propan minimum 95% volume, LPG-butan mengandung butan minimum 97,5% volume, dan LPG campuran mengandung propan dan butan minimum 97,5% volume. LPG Conversion Kit adalah peralatan konversi bahan bakar gas LPG bertekanan yang terdiri dari tabung LPG,penurun tekanan dan pengatur aliran LPG (main regulator), alat ukur tekanan LPG (Pressure Gauge), selang LPG (LPG Hose), Katup pembuka dan Penutup Aliran LPG (Shut-off Valve), Penstabil Tekanan dan Aliran LPG (Regulator-Vaporizer), Katup Pengatur Aliran LPG (Power Valve), Pencampur LPG dan Udara (Gas-Air Mixer), Selang Vakum (Vacum Hose), serta dudukan Tabung LPG (Bracket). Dual-Fuel System adalah sistem bahan bakar yang menggunakan 2 (dua) jenis bahan bakar sekaligus di dalam bekerjanya motor penggerak jenis motor diesel, yaitu BBG dan BBM melalui penggunaan LPG Conversion Kit, dimana BBG yang bercampur dengan udara di Gas -Air Mixer masuk ke dalam silinder motor penggerak, kemudian dikompresi di ruang bakar motor penggerak untuk selanjutnya terbakar bersama dengan BBM yang disemprotkan oleh Nozzle.
Selang LPG
Main Regulator
Tabung LPG
Power Valve
Regulator Vaporizer
Gas Air Mixer
Vacum Adaptor
Tabung LPG Bi-Fuel System adalah sistem bahan bakar yang menggunakan dua jenis bahan bakar tetapi bekerjanya tidak bersamaan. Bi-Fuel diterapkan pada motor penggerak jenis motor bensin, yaitu BBM-Bensin 100% tanpa menggunakan LPG Conversion Kit atau BBG-LPG 100% melalui penggunaan LPG Conversion Kit. Saat BBG-LPG 100%, BBG-LPG bercampur dengan udara di Gas-Air Mixer sebelum Karburator dan akan masuk ke dalam silinder motor penggerak ketiak ada hisapan dari torax (piston), kemudian dikompresi di ruang bakar motor penggerak untuk selanjutnya terbakar oleh percikan bunga api listrik dari busi (spark plug). BBPPI telah melaksanakan Ujicoba bi-fuel system (bensin 100 % atau LPG 100%) pada motor bensin dan dual-fuel system (minyak solar dan LPG) pada motor diesel yang digunakan sebagai motor penggerak kapal perikanan (outboard longtail-shaft) <= 5 GT (one day fishing). a. Pada Motor Bensin 1. Substitusi 100%, LPG dapat menggantikan bensin seluruhnya. 2. Konversi 1,4 sampai dengan 2,6 liter Bensin setiap 1 Kg LPG akan Menggantikan 1,4 sampai dengan 2,6 liter Bensin. 3. Efisiensi 28 s/d 62 %, Apabila nelayan yang biasanya mengeluarkan biaya Rp. 50.000,- maka akan dapat penghematan antara Rp. 14000,- hingga Rp.31000,- atau hanya mengeluarkan Rp. 19000,- (kurang lebih 4,2 Kg LPG) hingga Rp. 36.000,- (kurang lebih 8 Kg LPG).
b. Pada Motor Diesel 1. Substitusi 69 % Setiap operasional kapal membutuhkan minyak solar sebanyak 31 % dari biasanya dan 69 % sisanya tergantikan oleh LPG. 2. Konversi 1,57 liter minyak solar Setiap 1 Kg LPG bisa menggantikan minyak solar sebanyak 1,57 liter. 3. Efisiensi 25 % Apabilan nelayan yang biasanya mengeluarkan biaya operasional Rp. 50000,- maka akan mendapat efisiensi Rp. 12500,- dengan catatan belanja untuk minyak solar Rp. 15.500,- (kurang lebih 3,44 liter solar) dan untuk LPG Rp. 22000,- (kurang lebih 4,88 kg LPG). Catatan : Harga minyak solar subsidi Rp. 4500,00 per liter Harga LPG 4 Kg subsidi Rp. 13.500,00.
Read More... LPG Untuk Kapal Perikanan