Sunday 6 January 2013

Ikan Lemuru Selat Bali

Selat Bali, wilayah perairan yang memisahkan Pulau Jawa dan Bali, memiliki keunikan tersendiri. Wilayah perairan dengan luas area sekitar 2,500 km2 ini menyimpan sumberdaya ikan pelagis kecil yang memiliki nilai ekonomis tinggi, yaitu ikan lemuru (Bali Sardinella). Produksi lemuru mencapai 80% dari total produksi ikan di Selat Bali. Peningkatan produksi terlihat sejak diperkenalkannya alat tangkap pukat cincin (purse seine) kepada nelayan pada tahun 1974. Namun sejak pertengahan tahun 2010 kegiatan penangkapan ikan mengalami puncak kelesuan, lemuru tiba-tiba“menghilang” dari Selat Bali. Menghilangnya lemuru di Selat Bali diduga disebabkan perubahan kondisi oseanografi perairan akibat pengaruh perubahan iklim. Lemuru diperkirakaan bergerombol pada lapisan perairan yang lebih dalam yang tidak terjangkau oleh alat tangkap. 


Sumberdaya ikan lemuru tergolong ikan pelagis kecil yang termasuk ke dalam famili clupeidae. Bentuk tubuh lemuru bulat memanjang (fusiform), perut bulat, berwarna kehijauan pada bagian dorsal dan mengkilap ada bagian ventral. Lemuru merupakan ikan pemakan penyaring (filter feeder) dengan makanan utama adalah zooplankton, dimana sekitar 90% komposisi makanannya berupa Copepoda. (Burhanuddin et al., 1984). Lemuru memiliki kemampuan bermigrasi yang kuat dan terlihat dalam gerombolan (scholing) di daerah pesisir pada kedalaman kurang dari 60 m, (Merta, 2003). Distribusi ikan lemuru ditemukan hampir di seluruh Selat Bali. Daerah penangkapan tersebar di sepanjang pantai barat Pulau Bali dan pantai Timur Banyuwangi. Pemijahan lemuru terjadi 2 kali dalam setahun dan diperkirakan terjadi pada awal musim penghujan, namun lokasi pemijahan belum diketahui secara pasti. 


Keberadaan lemuru di Selat Bali erat kaitanya dengan kondisi oseanografi perairan. Suhu dan ketersediaan makanan merupakan faktor lingkungan yang membatasi distribusi ikan pelagis kecil, termasuk lemuru. Hendiarti et al. (2004) menyampaikan bahwa kondisi oseanografi Selat Bali dipengaruhi oleh monsson. Pada musim timur (Juni-Agustus) suhu relatif rendah dan konsentrasi klorofil-a meningkat, sedangkan musim barat (Desember-Februari) berlaku sebaliknya. Fenomena iklim regional (ENSO dan IOD) juga mempengaruhi kondisi oseanografi perairan Selat Bali (Sartimbal et al., 2010; Ghofar, 2000; Ghofar et al., 1999). Lemuru tertangkap sepanjang tahun, musim penangkapan ikan terjadi pada bulan September – Desember, dengan puncak panangkapan pada bulan Nopember. Hal ini erat hubungannya dengan terjadinya upwelling di perairan Samudera Hindia selatan Jawa-Bali yang mempengaruhi kondisi perairan Selat Bali. 

Lemuru Di Selat Bali Tidak Hilang Beberapa waktu lalu pernah terdengar berita bahwa nelayan di Selat Bali merana karena sudah lama tidak melaut. Seperti dikutip dari sebuah harian nasional bahwa nelayan setengah karam di Muncar karena sudah 1,5 tahun bertahan ditengah krisis ikan. Sejatinya, setiap spesies ikan memiliki kemampuan untuk berproduksi yang melebihi kapasitas produksinya sehingga stok ikan akan mampu bertahan secara berkesinambungan (sustainable). Hal ini menjadi tanda tanya besar,mengapa sumberdaya perikanan yang renewable (bisadiperbaharui)bisa hilang? Fenomena overfishing (kelebihan tangkap) di Selat Bali sudah lama menjadi perbincangan dan diduga menjadi penyebab hilangnya sumberdaya ikan, satu diantaranya ikan lemuru. Menurut penelitian,Selat Bali telah mengindikasikan terjadinya gejala biological overfishing dalam pengusahaan sumberdaya perikanan lemuru akibat pengoperasian alat tangkap purse seine yang cukup menonjol. Penelitian lain mengatakan bahwa perikanan lemuru di Perairan Selat Bali dengan Maximum Sustainable Yield (MSY) sebesar 34.000 ton per tahun sudah lebih tangkap (overfishing). Dan ada juga yang menyatakan bahwa di Perairan Selat Bali telah terjadi gejala economic overfishing pada perikanan lemuru karena jumlah alat tangkap purse seine yang digunakan jauh lebih besar dibandingkan dengan stok ikan yang tersedia. 

Overfishing Tentang kondisi terakhir, overfishing yang terjadi di Selat Bali diketahui dari penilaian dengan pendekatan spesies tunggal lemuru. Alasannya karena spesies ini dianggap sebagai spesies yang selalu dominan ditangkap oleh nelayan di Selat Bali dan mengabaikan spesies yang lainnya. Hilangnya sumberdaya perikanan di Selat Bali diduga karena selama ini pendekatan yang digunakan dalam pengelolaan Selat Bali lebih banyak berorientasi pada spesies tunggal lemuru karena hanya pasar spesies lemuru yang tersedia di wilayah perairan. Alhasil, spesies lainnya yang menjadi target penangkapan nelayan di Selat Bali diabaikan. Padahal, perikanan tropis seperti di Indonesia bersifat gabungan atau multispesies. Simak saja, satu armada penangkapan atau alat tangkap mampumenangkap beberapa spesies ikan.Seperti kasus di Selat Bali, armada penangkapan purse seine adalah armada penangkapan dominan yang bisamenangkap beberapa spesies ikan seperti lemuru (77,12%), tongkol (8,60%), layang (5,09 %), kembung (0,63%) dan spesies ikan lainnya (8,56%). Karena itu perubahan stok ikan lemuru di Selat Bali yang disinyalir hilang atau habis karena penangkapan juga perlu dikaji mendalam. Sebab berdasarkan hasil diskusi ilmiah di Fakultas Perikanan dan Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB) terungkap bahwa perubahan tangkapan ikan lemuru di Selat Bali tidak semata karena degradasi stok oleh penangkapan. Menurut Dr Wayan Nurjaya,pakar oseanografi fisik dan kelautan IPB,perubahan stok terjadi karena proses adaptasi dari peningkatan suhu global, sehingga ikan lemuru melakukan migrasi vertikal ke perairan yang lebih dalam. Pernyataan ini mirip dengan hasil penelitian Prof Indra Jaya dan Fauziah, pakar Akustik Kelautan,bahwa gerombolan (schooling) ikan lemuru sebagian besar terdeteksi pada kedalaman lebih dari 100 meter.
Grafik Pendaratan rata-rata/bulan Muncar
 
PETA FISHING GROUND LEMURU SELAT BALI (PRADANA,2008)

No comments :